Header Ads Widget

Agama: Antara Profil dan Penghayatan (terawang seadanya)

Agama: Antara Profil dan Penghayatan

(terawang seadanya)














Suatu hari tepat di jam 12 siang. Dalam sebuah bis kota, agak padat penumpang. Seorang ibu separuh baya, khusuk berdoa. Bibirnya sedikit bergerak. Nampaknya Doa Angelus tengah diresitirnya. Tepat di depan ibu itu, berdiri seorang pria. Ia berpakaian jubah panjang. Di bagian lehernya itu ada satu strep putih. Entah apa namanya itu. Model pakaian itu biasanya dipakai oleh para klerus Gereja Katolik.
Doa pun selesai. Dengan tenang ibu itu masukan kembali Salib ke dalam tas kecilnya. Si pria, berjubah panjang itu, dengan nada pelan sedikit halus, beranikan diri bertanya, “Ibu seorang Katolik?”

Ibu itu pun menjawab, juga dengan nada halus, “Iya, saya seorang Katolik..” Dan juga segera lanjutkan kata-katanya pada pria itu dengan bertanya, “Tetapi, Anda sendiri sebenarnya beragama apa?” Si Pria berjubah itu sejenak agak tersentak. Satu pertanyaan yang tak terduga buatnya. Dan, ia pun tak berselera untuk menjawab. Bukan kah jubah panjang itu identitas seorang Katolik, dan bahkan seorang imam lagi?
Tak sadar kah ibu itu dengan pertanyaannya? Masa, sudah dengan tampilan seperti itu, ia masih ditanya “Kamu agama apa sebenarnya?” Masih kurang jelas kah dengan tampilan seperti itu untuk harus ditanya lagi tentang agamanya?

Adakah yang salah dari saling bertanya antara si pria dan si ibu itu? Ini tentu bukanlah soal ‘salah atau benar. Sesungguhnya itulah setidaknya aura keberagamaan yang terbaca. Agama apapun pasti ungkapkan imannya lewat satu perayaan. Entah meriah atau sesederhana sekalipun. Agama pun bisa terbaca dari sekian banyak ornamen yang asesoristik! Termasuk ‘pakaian agamis’ itu.

Tak ada yang ‘salah apalagi sesat’ dari ciri-ciri luaran itu. Namun, tetap ada potensi huru-hara ketika ciri-ciri asesoristik itu dikemas dalam bungkusan-bungkusan yang teramat eksklusif dan elitis. Kita jadinya ‘ribut dan meributkan’ hal-hal yang luaran itu.

Bukan kah agama itu adalah satu jalan sunyi menuju Sang Sunyi. Agar darinya dapat dimaknai jalan-jalan hidup ini dengan kepala cemerlang dan hati penuh teduh? Tidak kah sebuah Rumah Tuhan adalah juga satu cetrum missionis, darinya kaum beragama itu diutus untuk sungguh sebagai kaum beriman?

Sayangnya, agama yang adalah ‘jalan batin menuju sunyi’ berubah jadi satu ‘jalan maut.’ Agama sudah salah tertangkap. Dan lalu dikaroseri sebagai ‘jalan ribut.’ Jalan yang menggertak, mengancam, menekan, menghancurkan serta lahirkan sekian banyak kegaduhan.

Triumfalisme dalam citra keberagamaan seperti ini sebenarnya adalah gambaran dari fatalisme agama itu sendiri. Kita terperangkap dalam ‘jumlah, tanda, asesorik, hingga ritualisme.’ Dan semuanya itu wajib diperjelas untuk dipisahkan dari ‘yang lain dan bukan kita.’

Rasa sebagai ‘saudara sebangsa dan setanah air, yang lahir dan dibesarkan di Indonesia Raya’ nampaknya tergerus dan terkikis dalam “profil dan agama apa?” Kita sepertinya tak mau sekian puas dan sungguh berbangga atas satu ‘prestasi anak bangsa.’ Sebab, itu tadi, harus dipaksa dengan sisipan agama apa si anak bangsa itu yang berprestasi atau sama sekali tidak berprestasi.

Tentu saja, Katolikku keren, tidak ditandai oleh jumlah figur publik, atlet, artis atau pejabat sipil – militer, yang tercatat beragama Katolik. ‘Agama penuh heboh’ sepantasnya diteduhkan dalam keberimanan yang kokoh. Yang sunyi, yang tak luntur dalam usaha menggapai takhta ilahi serta penuh kerendahan hati memeluk dan merangkul sesama.

Manusia, sejak sediakala, telah terbentuk dan ada dalam kebhinekaan. Iya, dalam keberagamannya. Tetapi citra dan martabat kemanusiaan itulah yang jadi satu identitas hakiki. Dan agama dan keberimanan adalah salah satu jalan untuk ‘memperteguh dan memperdalam’ martabat kemanusiaan itu.

Sering, dan terbanyak, sulit dan kerasnya untuk tidak berkehendak dalam menerima yang lain itu tidaklah karena keberagaman yang ada pada yang lain itu. Tidak! Tetapi pada kesumpekan rongga otak dan ruang hati, yang dijejali oleh ‘cara dan isi berpikir.’ Kita menjadi gegar dalam keberagamaan dan dalam penghayatan iman, hanya karena kita tak sanggup mengalami keberagaman itu.

Dalam varian tesis positif dunia yang semakin maju ini, kenapa kah alam antitesis negatif justru semakin dipacu demi memicu situasi penuh suram bertaburan kasak-kusuknya? Di sini, manusia semakin ‘lari jauh’ dari kebaikan, kebenaran dan keindahan (bonum – verum – pulchrum). Semuanya tak dilihat lagi dalam teropong sukacita. Penuh kagum dan rasa syukur.

Apakah karena agama, kita mesti semakin jauh dan merenggang? Kehilangan ceriah dan spontanitas yang segera diganti dengan ketaknyamanan dan rasa penuh curiga? Dan akibat lanjutnya?

Kita sedemikian ribut dan penuh sibuk dengan tampilan agama yang asesoristik, yang sebenarnya hanya mau merawat satu gema teroristik penuh tekanan. Agama selamanya tak pernah negatif dan malum (buruk). Tetapi forma agama yang diracik hanya untuk ‘bikin pingsan’ satu kesadaran hidup yang ceriah, sehat dan teduh, itulah yang mesti diseriusi.

Di pusaran ungkapan citra keberagamaan yang nampak degradatif ini, kita bisa kehilangan rasa pertemanan, rasa kedekatan, rasa keakraban serta rasa kekeluargaan. Maka, sepantasnya kita memetik makna dari keyakinan Imam al Ghazali. Sebab katanya,

“Manusia yang paling lemah adalah yang tidak sanggup mencari teman. Tetapi yang paling lemah lagi adalah orang-orang yang menyia-nyiakan teman yang telah diperolehnya.”

Imam al Ghazali tentunya benar dengan keyakinannya itu.....


Verbo Dei Amorem Spiranti



Posting Komentar

0 Komentar