Header Ads Widget

Kita Diingatkan Akan Bahaya Dari Perubahan Iklim..

Menyebarluaskan informasi tentang dampak Perubahan Iklim di Kabupaten Manggarai Timur/Foto RR


umpungjayasiar.com,RUTENG. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi pada periode 2011-2020 lebih tinggi 1,09 derajat C dibandingkan periode 1850-1900. Hal ini menjadi kode merah bagi umat manusia. Kenaikan suhu permukaan bumi berdampak pada perubahan iklim di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.


Perubahan iklim membawa sejumlah tantangan bagi Indonesia,diantaranya yaitu peningkatan suhu, perubahan curah hujan, kenaikan muka laut, dan peningkatan gelombang ekstrem.


Perubahan iklim juga mengakibatkan meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia.


BNPB mencatat selama 10 tahun (2010-2020) tren kejadian tahunan bencana di Indonesia cenderung meningkat dan 95% bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Lebih jauh, bencana hidrometeorologi ini berpotensi membawa kerugian di sektor pertanian.


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai laporan riset (Boer et al, 2008;(Apriyana et al, 2016; dan Nugroho et al, 2019), ada penurunan produksi pertanian di berbagai daerah, seperti, di Sumatra Barat, terjadi penurunan produksi panen hingga 6,43% dari Januari hingga September 2020, dibandingkan produksi pada tahun 2019.

Foto tentang Perubahan Iklim
Secara keseluruhan diramalkan produksi beras di berbagai daerah di Indonesia akan mengalami penurunan sebesar 0,6 ton per hektar. Pada 2025, produksi pangan akan menurun 12 ribu hingga 162 juta ton.


Pemerintah Indonesia telah menghitung potensi kerugian Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi secara akumulasi sebesar Rp. 544 triliun pada periode 2020-2024. Sektor pertanian diprediksi mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 78 triliun.


Dalam rangka meminimalisir potensi kerugian akibat perubahan iklim, pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (KPBI) pada periode 2020-2045. Potensi kerugian diharapkan akan dapat dipangkas hingga Rp. 281,9 triliun hingga pada tahun 2024. Kebijakan ini akan diterapkan lebih jauh pada berbagai aksi, dilakukan oleh kementerian dan Pemerintah Daerah.


Kegiatan Diskusi Publik & Launching Program VICRA 3 pemerintah daerah. Sumatra Barat, Lampung, NTB, dan NTT merupakan empat provinsi yang menjadi daerah intervensi. Keempat provinsi tersebut berpotensi mengalami kerugian di sektor pertanian sebesar Rp 9,16 triliun dan tingkat potensi penurunan produksi padinya dikategorikan tinggi.


Aksi penerapan KPBI di sektor pertanian seharusnya bisa melibatkan komunitas petani sebagai aktor utamanya. Mereka perlu diberi ruang partisipasi agar kebutuhan dan kepentingannya dapat diakomodasi dan daya tawar mereka pun dapat ditingkatkan, karena selama ini mereka kesulitan untuk memberi pengaruh bermakna dalam pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan. Disamping itu, implementasi KPBI juga seharusnya bisa mengakomodir suara dari kelompok rentan lainnya, seperti perempuan, orang lanjut usia (lansia), dan penyandang disabilitas. Sebab, mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Banyak perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas yang masih memiliki keterbatasan pengetahuan, pemahaman, kapasitas, dan pengalaman untuk menghadapi dampak perubahan iklim.


Pada realitanya, KPBI belum secara spesifik menyoal tentang keterlibatan para petani dan kelompok rentan tersebut. Di Indonesia, masih banyak petani dan CSO tidak memiliki cukup akses ke sumber informasi terkait aksi perubahan iklim yang dilakukan pemerintah melalui Rencana Aksi Nasional Aksi Perubahan Iklim (RAN API). Pemahaman publik mengenai perubahan iklim masih kurang, karena terbatasnya sosialisasi dan pembentukan kapasitas mengenai topik ini, terutama di daerah-daerah terpilih. Terlihat bahwa kebijakan tersebut belum menyasar kondisi masyarakat di lapangan.


Berangkat dari masalah di atas, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil dalam penerapan KPBI di sektor pertanian, khusunya komunitas petani dan kelompok rentan. Agar mereka dapat berperan dalam pembangunan, sehingga tercipta pembangunan yang inklusif. Oleh karena itu, masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan semestinya secara bersama mendorong ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat, berdiskusi, dan beraksi. Ruang sipil akan dapat disasar secara efektif ketika berbagai aktor masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan yang inklusif dapat bergabung dalam rangka mewujudkan kepentingan publik.


Untuk merespon hal ini, PATTIRO bersama dengan Konsorsium CSO yang terdiri dari KONSEPSI, Transform, LP2M, PKBI Sumatera Barat, Bengkel APPeK, Yayasan Ayo Indonesia, Mitra Bentala, YPPS, dan YKWS akan memperkuat suara dan aksi masyarakat sipil termasuk kelompok rentan dalam perubahan iklim melalui Program "Voice for Inclusiveness Climate Resilience Actions (VICRA)".


Program ini dilaksanakan di 4 provinsi dan 9 kabupaten/kota yaitu Provinsi Sumatera Barat (Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pesisir Selatan), Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Timur dan Pesawaran), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur), dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan).


Program ini didukung oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta yang bertujuan untuk menciptakan ruang sipil (civic space) bagi kelompok petani rentan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan berketahanan iklim.


Tim Pusat Telaah dan Informasi Regional ( PATTIRO)


Foto.vicra


Posting Komentar

0 Komentar