Header Ads Widget

Bible Corner; Janganlah Sebatas Menilai dan Sekedar Menduga

 

Janganlah Sebatas Menilai dan Sekedar Menduga

 

Tuhan tidak peduli apakah Anda membenci atau mencintaiNya. Ia bagaikan api, yang boleh Anda benci atau cintai. Tetapi selama Anda dekat denganNya, Ia akan menghangatkan Anda” (Chin Ning Chu, motivator-penulis, China 1947 – 2009)

 

Bible Corner, Pekan III Pra-Paskah, Minggu 20 Maret 2022

(Bacalah Injil Lukas 13:1-9)

 



P. Kons Beo, SVD

 Hidup Penuh Impian

Kita tak sekedar jalani hidup ini begitu saja. Tetapi bahwa hidup itu sendiri mesti bertumbuh dan berkembang. Bukan kah sebagai manusia yang terahmati kita dilimpahi anugerah berkat Tuhan? Dengan itu hidup menjadi semakin meyakinkan.

Tetapi yang kita sebut sebagai hidup yang berkembang tentu tak hanya sebatas pada ciri fisik yang terlihat! Saat manusia semakin mudah dalam segala pergerakan. Serba cekatan dalam irama cepat saji. Tanpa proses dan waktu yang terasa lama. Hidup ternyata tak sekedar pada hal-hal yang sedemikian ini.

Hidup adalah pula soal motivasi. Ini  menyangkut segala daya juang, sikap dan mentalitas. Hidup itu berpautan pula dengan cara berpikir dan cara kita menilai serta mengevaluasi setiap tapak jalan yang kita lalui. Dan tentu ini semua telah terjadi dalam aneka kisah dan pengalaman hidup kita masing-masing.

Hidup Penuh Persaingan

Apapun yang terjadi, dalam kisah keseharian selalu ada usaha untuk buktikan diri sebagai ‘pribadi yang OK.’ Kita barangkali saja telah terbius oleh dukungan dan sanjungan untuk menjadi ‘yang pertama dan utama.’ Kita diarak untuk menjadi pemenang. Untuk ditakhtakan pada tangga teratas sang juara.

Di alam seperti inilah hidup terasa bagai gelanggang pertaruhan. Kompetisi sengit terjadi di dalamnya. Sikap kita terhadap sesama, dalam rana sosial-religius misalnya, nampak dalam gejolak superior. Artinya, sesama selalu ada dalam bingkai ‘kekalahan, lemah, tak berdaya, imbas dari dosa yang berujung kutukan maut, kafir, najis, dan kaum terhukum.’ Dan pada saat yang sesama kita lah yang tampil ‘benar, suci, saleh, amanah, dan selalu tampil sebagai pemenang.’

Maka cara keber-agamaan tidak ubah bagai sebatas membangun relasi  sikap dan cara berpikir antitesis terhadap orang lain. Kita harus selalu  berada di pihak ‘kemuliaan.’ Dan  yang berseberangan wajib di pihak ‘kenistaan.’ Di situ pun penghayatan keagamaan menjadi tertutup dalam dirinya sendiri! Dalam kebenaran dan dalam segala doktrin yang dirawat ketat, dan bahkan lebih lagi telah dianggap sakti dan suci.

Penghayatan keagamaan seperti ini hanya mencapai sesama (yang berbeda) dengan senjata kekerasan, kekejaman, serta ragam aksi intoleran. Apa artinya agama dan Tuhan yang disembah andaikan yang selalu mengalir dalam sejarah adalah ‘ketakutan, hinaan, air mata, tekanan, darah, maut dan kematian?’

Tantangan Yesus: Sangkamu?

Beberapa orang yang datang kepada Yesus itu membawa satu berita hitam. Tentang orang-orang Galilea, masyarakat pinggiran itu. “Mereka dibunuh Pilatus, dan bahkan darah mereka dicampur dengan darah korban yang mereka persembahan..” (cf Luk 13:1). Betapa hinanya orang-orang Galilea itu.

Sikap hati dan pikiran kaum pembawa berita itu tentu hanya sebatas ‘Begitulah kutukan dan nasib tragis yang wajib tertimpah pada kaum hina dan terasing.’ Tetapi, dari apa yang ditanggapi Yesus dari berita kematian tragis ini, tidak kah kita dapati inspirasi akan bagaimana cara berpikir, menilai dan sikap kita?

Tanggapan Yesus sekian jelas dan tegas, “Sangkahmu orang-orang Galilea ini lebih besar dosa, daripada dosa-dosa semua orang Galilea lain, karena mereka mengalami nasib demikian…?” (Luk 13:2).

Pertama, Dosa tetaplah dosa. Apa yang salah  pada kenyataan tetaplah salah. Tak terbantakan! Yang disebut dosa tetaplah berujung pada satu dua akibat buruk. Manusia tentu harus menanggung akibat dari rangkaian perbuatannya yang kelam.

Kenyataan dosa merambah setiap manusia, siapa pun kita. Kenyataan berdosa adalah bagian dari perjalanan hidup semua manusia.  Sebab, manusia tak luput dari dari erosi kelemahan kehendak (St Thomas Aquino). Keangkuhan kita terhadap sesama itu terjadi saat menyangka bahwa ‘kenyataan dosa seolah hanya terdapat dan terjadi pada sesama. Sementara kita sendiri ada dalam segala alam suci lahir dan di dalam batin.’

Kedua,  sebab itu, kita bisa saja tetap setia untuk jadi pencerita (narator) serentak penghakim dari sesama yang dianggap berdosa atau bersalah itu. Apalagi bila nasib sesama yang bersalah itu sungguh dalam kepiluan. Itulah gejolak hati dan sikap beberapa orang yang ‘membawa berita buruk kepada Yesus tentang nasib dramatis orang-orang Galilea yang dibunuh Pilatus.’ Apakah mereka berharap untuk dipuji Yesus sebagai orang benar?

Renungkanlah cara kita berkisah tentang sesama, tetangga, anggota rumah sendiri, rekan kerja di kantor, atau anggota keluarga kita sendiri, saat hati kita pada tak OK dalam relasi yang retak! Saat nasib pilu mendera sesama itu, tidak kah kita ‘bisa tersenyum’ bahwa itulah yang layak diterima oleh mereka?  Dan hanya kitalah kelompok ‘orang benar.’ Sebab nasib kelam itu tidak tertimpah pada kita?

Ketiga, dari apa yang ditanggapi Yesus, memang sungguh nyata bahwa kita sebenarnya sering terperangkap dalam kotak sempit cara berpikir “sangkamu….” Kita nampaknya terlalu memastikan atau sekian bernafsu untuk membenarkan apa yang kita sangka, yang kita bayangkan, dan segala apa yang kita tafsirkan.

Sebab itulah, sepatutnya kita tak dijajah dan tak dibelenggu oleh virus sangkamu… yang selalu berceloteh serba ‘miring mengenai sesama’ dan wajib tentang yang positif untuk diri dan kelompok sendiri! Ini repotnya juga bila ‘kumpul-kumpul kita itu masih sering jauh dari Kabar Gembira (Injil) bagi dan tentang sesama.’

Yesus tak menampik dosa yang dilakukan orang-orang Galilea itu. Tetapi, Ia sungguh mencela segala sangkaan dan perkiraan dari para pembawa pemberita itu. Seolah-olah hanya merekalah kaum yang bersinar terang dalam kebenaran dan kesalehan! Tegas Yesus, “Tidak, kata-Ku kepadamu…” (Luk 13:3.5). Ada yang mesti diruntuhkan dari sikap hati para pembawa berita itu.

Keempat, pertobatan adalah seruan mulia bagi semua. “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Kita mesti kembali pada keyakinan bahwa Injil-Kabar Gembira itu sungguh menyapa setiap kita. Dan pertobatan adalah jalan bagi semua manusia demi mengalami Kerajaan Allah.

Pertobatan pada tempat utama adalah perjuangan untuk tengoklah ke dalam diri sendiri. Sebab kita sendiri telah jauh dari suasana Kerajaan Allah itu. Pertobatan menantang kita untuk merendah dan mengakui segala kedurhakaan diri sendiri. Tak pernah ada alam perdamaian dan kesejukan di hati jika tak dimulai dengan ada kesadaran batin ‘memukul-mukul dada sambil berucap: Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa!  

Tetapi jika saudaramu berdosa tidak kah kita harus miliki keberanian sepenuh hati untuk “berbicaralah dengan dia di bawah empat mata, demi mendapatkannya kembali?” (cf Mat 18:15-20)). Dan jika ia sungguh berdosa terhadapmu, “Tak adakah pintu pengampunan yang lahir dari kebeningan hatimu?

Dan di atas segalanya, kita sepatutnya kokohkan kembali keyakinan akan Allah sebagai Bapa yang mahapengasih dan mahapenyayang, “Yang terbitkan matahari dan turunkan hujan baik bagi orang yang benar dan tidak benar, baik bagi orang baik maupun bagi  orang jahat” (cf Mat 5:45). Itulah sosok Allah yang diwartakan Yesus, Allah yang mahapengampun, Allah yang setia menanti kita dalam sebuah perjalanan pulang (pertobatan). Itulah Allah yang melampaui “sangkamu.”

Kelima, mari gugurkan segala sangka dan anggapan tentang siapapun sesama kita, yang dihakimi ‘tidak berbuah, yang tidak menghasilkan, yang tidak membawa keuntungan, yang serba minus, yang merugikan, yang dianggap serba membawa kesia-siaan serta benamkan reputasi….”

Yesus, Tuhan dan Guru mendidik kita untuk sebuah hati penuh kesabaran. Iya, bersabar bagai si pengurus kebun anggur itu (Luk 13:8). Ia tahu berbuat dalam kesabaran dan tetap berharap agar “pohon anggur itu dapat menghasilkan buah…”

Akhirnya…

Kita memang tak boleh sebatas menduga dan menilai sesama. Tak boleh hanya sebatas menjadi pembawa berita pada Yesus. Gereja adalah kita semua yang bersekutu, yang saling meneguhkan, yang berjalan dalam kebenaran dan keselamatan Kerajaan Allah.

Ada sekian banyak hal, terutama di masa Pra-Paskah, yang dapat kita lakukan demi hidup sesama. Dalam dunia, bahkan di sekitar kita pun ada sekian banyak yang menderita, yang berkekurangan, dan serba tak menentu nasibnya.

Seruan Yesus akan pertobatan selalu berarti pula bahwa kita mesti berbuat sesuatu bagi sesama, bagi kaum yang dilukiskan hanya dapat merentangkannya tangan pada langit.  Demi mendapatkan kehangatan dan kasih sayang Matahari Sejati.

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar