Header Ads Widget

Renungan Harian Katolik : "...sebab aku tidak sama dengan semua orang lain"

Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong

Pater Kons Beo, SVD, tinggal di Roma, Italia

Sabtu, 26 Maret 2022

(Pekan III Pra-Paskah, St )

Bacaan I Hosea 6:1-6

Mazmur Tanggapan Mzm 51:3-4.18-19.20-21ab

Injil Lukas 18:9-14

"...sebab aku tidak sama dengan semua orang lain"

Luk 18:11

(...quia non sum sicut cèteri hòminum)


ADA yang terbentuk dalam hati kita. Itu berkenaan dengan keyakinan pada diri sendiri. Murah meriah kita memberi penilaian serba OK pada diri sendiri. 

TAK ada yang salah di situ. Sebab memang bisa saja kita tak banyak  aneh dan eror nya. Tingkah laku kita terukur. Tertib dan teratur dalam disiplin rohani. Kesaksian hidup kita jempolan. 

NAMUN ada soal yang sering muncul pula. Saat hebatnya kita itu jadi modal telak untuk mengukur dan menghakimi sesama.  Di situ kita menjadi tidak sama dengan semua orang lain. Dan memang tak mau disamakan dengan orang lain. Yang ternilai suram dan laknat.

ADAKAH anggapan dan percakapan tentang diri sendiri yang merendah? Yang jauh dari kesombongan diri dan keangkuhan rohani? Yang tidak merendahkan sesama? Rasanya hal itu tak mudah terjumpakan.

PERUMPAAN Yesus tentang keangkuhan perilaku dan kesombongan rohani  di Farisi yang memborbardir  pengapnya  perilaku si pemungut cukai  adalah alarm kuat demi menjauhi keangkuhan diri dan kecenderungan untuk merendahkan sesama.

TETAPI Tuhan tentu tak membenarkan perilaku si pemungut cukai. Yang  salah dan kelam tetap tak dapat dibenarkan. Bagaimana pun dalam Bait Allah itu terungkap kisah sesal dan tobat hati. Ada seruan mohon pengampunan.

DOA pemungut cukai adalah gema untuk melihat dalam diri sendiri. Kita tak selamanya lurus di jalan hidup ini. Kita memang bukan segalanya. Kekurangan, keterbatasan serta ketidakhebatan diri menuntun kita kepada Kasih Tuhan. 

TUHAN selalu mengampuni dari kedalaman KasihNya. Sebab Ia ingin kita kembali sebagai "orang yang dibenarkan." Demi kembali hidup sebagai orang merdeka.

BETAPA begitu seringnya kita 'menghitung hitamnya jalan hidup sesama.' Dan kita menjadi lupa akan inti iman kita kepada Allah yang maha pengasih, pengampun dan penyayang.

SEBAB, seperti si Farisi, kita sering berusaha mengkudeta Kasih Tuhan, bahkan di dalam Bait Kudus -  RumahNya sendiri. Dalam keseharian, Kita sering berjuang untuk diakui dan disanjung bahwa "aku, kelompokku, kami-kami ini, tidak sama dengan dia, mereka, dan semua orang lain."

"Ketika setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata" Luk 11:14

(Et cùm eiecìsset daemònium, locùtus est mutus)


KISAH luar biasa itu sungguh menyentak. Seorang bisu dibebaskan dari kuasa setan. Dia yang semula diam tak berdaya kini dapat berkata-kata. 

KUASA kegelapan sering membuat siapa pun yang dikuasainya itu terdiam. Sering pula untuk tak jelas berbicara atau bersuara yang tak sesuai kebenaran. Kuasa kegelapan sungguh membisukan segalanya.

KERAJAAN ALLAH sungguh hadir nyata di tengah umat. Hal itu terjadi saat manusia sudah sanggup kembali berkata-kata. Tentu bersuara dalam kasih, kebenaran dan sukacita.

YESUS hadir untuk membebaskan orang bisu itu. Tak cuma bahwa si mantan bisu akhirnya dapat berbicara. Tetapi bahwa ia juga mau didengarkan. Segala kata hati dan perasaaannya dapat menggapai sesamanya.  

TANDA bahwa satu kebersamaan itu sungguh sehat dan spontan adalah 'adanya kemerdekaan dalam berbicara.' Di situ, suara sayup-sayup sekalipun dapat terdengar. Suara kaum lemah dapat ditangkap jelas. Selalu ada ruang batin bebas untuk bersuara. 

SUASANA mencekam sebaliknya bisa saja tetap terjadi. Di situ, suara dominan sering kali nampak berkuasa mutlak. Orang tak bicara dari hati. Tetapi ia lebih berbicara karena kekuatan dan kuasa 'yang dirasanya lebih.' Kebisuan tercipta.

BICARA dari arogansi sering menyiksa sesama. Sebab di situ kisah saling bicara spontan, ringan, santai, penuh sapaan, serta canda ria telah jadi barang mahal. Yang terjadi bahwa yang satu merasa berhak bersuara  bebas yang menekan, menghina, dan memojokkan. Yang lainnya dipaksa diam membisu. Dibelenggu oleh kata-kata yang merantai.

TAK ada suasana genting selain ketika kemerdekaan berbicara ditekan! Orang dipaksa hanya untuk mendengar. Setidaknya orang dibuat jadi kaku dan tak sanggup bicara yang keluar dari kedalaman hatinya. 

DALAM cahaya Injil  kita renungkan bawa diri kita. Apakah kehadiran kita sungguh jadi tanda kebebasan bahwa sesama dapat berbicara? Atau sebaliknya terpaksa dan dipaksa membisu bernuansa 'diam mati kutu dan kaku'?

TERKADANG kita merasa diri 'benar, kuat, pemenang, penguasa' karena sesama telah diam tak berdaya dan dibisukan. Karena kita merasa diri serba surplus untuk bersuara apa saja! 

PADAHAL seorang yang kuat dan hebat itu nyata ketika diri dan kehadirannya justru sanggupkan sesama untuk dapat bersuara, bercerita dan berkisah. Penuh ceriah. Polos dan tak terbendung. Orang yang kuat itu selalu punya hati untuk mendengarkan sesama. Tanpa gerutu. Sabar. Rendah hati dan tanpa penuh penghakiman!

DI HADAPAN Tuhan kita sanggup berkata-kata. Kita berbicara. Kita bebas bersuara dalam sepotong doa. Penuh harapan. Itulah yang kita  alami dalam hidup penuh teduh. 

SEBAB Tuhan tahu dan mengenal suara batin kita yang paling dalam. Dan Tuhan membebaskan. Seperti yang IA lakukan terhadap yang bisu dan telah dibisukan!


Bukan kah demikian?

Posting Komentar

0 Komentar