![]() |
Pater Kons Beo, SVD Saat ini tinggal di Roma, Italia |
Saat Yesus Mesti Menulis di
Tanah
“Dosa-dosa kita hanyalah sebutir pasir di sepanjang
gunung besar belas kasihan Tuhan” (St Yohanes Maria
Vianey, Pastor di Ars, Prancis, 1786-1859)
(Bacalah Injil Yohanes 8:1-11)
P.
Kons Beo, SVD
Batu-Batu Kematian yang Siap Terlontar
Potensi kematian
serasa sulit untuk dihindari. Perempuan pezinah yang tertangkap basah itu
pasrah akan maut. Ia tak melawan. Diam tak berdaya. Toh, para penghukum sudah punya
segalanya untuk menggiringnya kepada kematian. Musa, dalam Taurat, punya
ketegasan, “Siapa pun diperintahkan untuk melempari perempuan sedemikian.”
Kisah kebenaran versi Musa itu pun
mesti jadi modal untuk ‘mengukur dan
mencobai Yesus’ (Yoh 8:6).
Perempuan tanpa harapan untuk hidup itu “ditempatkan di tengah-tengah.” Artinya, dia dengan kelamnya kelakuannya mesti jadi titik fokus Yesus yang “pagi-pagi benar ada di Bait Allah dan mengajar rakyat” (Yoh 8:2). Dan, sungguh, Yesus mesti dibenturkan pada pilihan-pilihan sulit.
Dilema kah Yesus?
Jika berpihak pada ketentuan Taurat, maka kematian yang dihadapi perempuan tentu adalah penghakiman Yesus terhadap diriNya sendiri. Dia yang mengajarkan damai, cinta dan belaskasihan ternyata ‘tertangkap basah’ pula pada kata-kataNya sendiri. Sebab Ia membenarkan darah, kekerasan dan maut! Yesus pasti dihakimi massa sebagai pengajar penuh dusta.
Andaikan Yesus membela perempuan itu? Bahwa kekerasan seperti tidak boleh ditimpahkan pada perempuan-perempuan seperti itu? Maka menjadi amat jelas dan kuat alasan bagi para elitis agama Yahudi (orang Farisi dan ahli Taurat) untuk “memperoleh sesuatu demi mempersalahkanNya” (Yoh 8:6).
Dalam situasi penuh dilematis itu, Injil Yohanes mencatat dua reaksi singkat Yesus namun penuh makna. Yesus menulis di tanah. Entah apa yang ditulis Yesus di tanah itu? Mungkin kah Yesus alihkan perhatian para ahli Taurat dan orang farisi dari perempuan berzinah kepada debu tanah? Bahwa yang menjadi titik terendah dari kesadaran diri adalah “semua manusia itu berdebu tanah?” untuk tidak sebatas bersembunyi dalam alasan “tak ada manusia yang terlahir sempurna….”
Mesti Pulang Kepada Diri Sendiri
Tetapi, kata-kata Yesus memang sungguh menantang, “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini” (Yoh 8:7). Yesus, yang hendak dicobai dengan kisah perempuan kelam itu, kini menjadi tokoh utama yang ‘mencobai dan menguji’ sikap batin dan suara hati orang farisi dan para ahli Taurat itu.
Kita dapat lanjut merenung kisah perempuan berzinah dalam beberapa pokok refleksi sederhana:
Pertama, dosa selalu menjauhkan manusia dari Tuhan, Penciptanya. Tetapi pertobatan adalah sebuah jalan pulang untuk menghadap takhta belaskasih dan kerahimanNya. Nampaknya perempuan itu mesti kembali pada Tuhan walau dengan ancaman dan tujuan maut yang bakal dialami.
Kita pasti bersikap sinis pada apa yang hendak dilakukan oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk mencobai Yesus dan pasti harus merajam mati perempuan itu. Namun, tidak kah kita bisa melihat sisi lain andaikan mereka membawa perempuan itu ke mahkamah agama atau pengadilan massa? Bukan kah darah dan kematian tragis yang bakal terjadi?
Mengakui bahwa kita adalah manusia rapuh dan berlumpur dosa sering bukan menjadi hal yang mudah! Kita sering bisa bertahan dalam ‘alam kedosaan itu’ dengan ragam ‘pembenarannya.’ Tetapi dapat terjadi bahwa ada cara-cara ‘tegas, kasar, dan penuh ancaman’ yang dapat menyentak dan mengaktifkan kembali kesadaran suara hati kita untuk kembali pada Tuhan dan belaskasihNya.
Kedua, kita tentu mesti tiba pula pada cara penyelesaian Yesus akan kisah
suram perempuan itu dan sikap orang farisi dan para ahli Taurat. Mari kita
ingat kisah Susana, perempuan yang
nyaris mati akibat tuduhan palsu berbuat zinah oleh dua lak-laki tua Israel.
Nyata-nyata Susana tak bersalah! Ia
dibebaskan oleh kecerdasan Daniel (baca tambahan
Kitab Daniel Bab 13).
Tetapi, bukan
kah penyelesaian Daniel berujung darah, kekerasan dan maut yang mesti dialami
oleh kedua tua-tua itu? Dan akhirnya khalayak ramai bersorak-sorak karena
‘keadilan’ yang berdarah itu? Ini tentu berbeda telak dengan keadilan atau
pengadilan dalam Yesus selalu berbasis pada belaskasih. Tanpa kekerasan! Bebas
dari darah dan kematian sia-sia.
Padahal
sebenarnya, menurut Taurat, perempuan berzinah itu sulit terhindar dari darah,
kekerasan dan kematian mengerikan. Pengadilan Tuhan jauh dari darah dan
kekerasan yang menimpah manusia. Biarlah ‘cuma’ Dia sendiri yang menderita,
yang berduri dan yang berdarah di kayu salib demi membebaskan kita
manusia.
Pengadilan dalam
Yesus sungguh menyentuh dan menantang hati nurani manusia untuk pulang kembali
kepada karunia belaskasih Tuhan. Itulah yang menjadi pokok utama kehadiran,
ajaran, serta sikap Yesus dalam menyapa setiap kita manusia.
Ketiga, saat-saat membawa perempuan berzinah itu kepada Yesus sepertinya
orang farisi dan para ahli Taurat juga ‘membawa
diri mereka sendiri’ kepada Yesus untuk ditatapNya. Batu-batu kekerasan penghakiman yang siap
dilemparkan kepada perempuan itu nampaknya ‘mesti mengalah pada debu tanah kelembutan yang di atasnya Yesus
menulis hukum belaskasih, kemurahan hati dan pengampuan.
Tetapi, sebagai
murid Yesus, kita semua, tidak boleh membawa sesama dalam penghakiman yang
‘yang mematikan.’ Pengampunan atas dosa-dosa adalah hak Tuhan. Namun, kita
pasti memiliki kewajiban injili demi membawa sesama kita di dalam doa-doa dan ungkapan hati penuh
harapan: Agar semuanya ada di dalam Kasih Tuhan yang membebaskan. Memang, tak
mudah untuk membuang ‘batu-batu penghakiman’ dalam bentuk apa saja terhadap
sesama yang terhina dan dianggap nista. Tetapi, apakah itu mustahil?
Keempat, Tuhan pasti tak membenarkan perbuatan dosa. Sepantasnya kita tak
terpaku pada penggalan kata-kata Yesus pada perempuan itu, “Aku pun tidak menghukum engkau!” yang
ditafsir seolah-olah bahwa Yesus
membenarkan perbuatan perempuan itu. Tidak!
Sebuah mandat
kepada hidup baru diamanatkan kepada perempuan itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh
8:11). Kisah perikop Injil ini berawal dari kenyataan perbuatan dosa, namun
berakhir dengan sebuah harapan tidak berbuat dosa lagi.
Orang farisi dan
para ahli Taurat telah tinggalkan Yesus seorang diri bersama perempuan itu.
Mungkin kah mereka pergi hanya untuk kembali mencari-cari para pendosa lainnya?
Dan lalu harus menghakimi dengan cara mereka sendiri? Entahlah.
Tetapi, kita
pasti tahu bahwa sesama kita juga sering terlalu rapuh dalam cinta, belaskasih
dan pengampunan. Terkadang kita pun mesti pasrah yang sehat akan sikap sesama.
Sebab itulah, meretas jalan pulang kembali pada cinta dan belaskasih adalah
keutamaan yang mesti diperjuangkan.
Itulah yang
diingatkan kepada kita pula oleh St Yohanes Maria Vianey. Pastor sederhana yang
berjiwa besar. Yang sabar untuk menerima siapa pun, yang mendengarkan ratapan
kedosaan, dan yang menunjukkan belaskasih dan pengampunan dalam Kasih Agung
Tuhan.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Tuhan memberkati.
Amin
0 Komentar