Header Ads Widget

Bible Corner ; Batu-Batu Kematian Yang Siap Terlontar

 

Pater Kons Beo, SVD Saat ini tinggal di Roma, Italia

Saat Yesus Mesti Menulis di Tanah

“Dosa-dosa kita hanyalah sebutir pasir di sepanjang gunung besar belas kasihan Tuhan” (St Yohanes Maria Vianey, Pastor di Ars, Prancis, 1786-1859)

 Bible Corner, Pekan V Pra-Paskah, Minggu 03 April 2022

(Bacalah Injil Yohanes 8:1-11)

P. Kons Beo, SVD

 

Batu-Batu Kematian yang Siap Terlontar

Potensi kematian serasa sulit untuk dihindari. Perempuan pezinah yang tertangkap basah itu pasrah akan maut. Ia tak melawan. Diam tak berdaya. Toh, para penghukum sudah punya segalanya untuk menggiringnya kepada kematian. Musa, dalam Taurat, punya ketegasan, “Siapa pun diperintahkan untuk melempari perempuan sedemikian.” Kisah kebenaran versi Musa itu pun mesti jadi modal untuk ‘mengukur dan mencobai Yesus’ (Yoh 8:6).

Perempuan tanpa harapan untuk hidup itu “ditempatkan di tengah-tengah.” Artinya, dia dengan kelamnya kelakuannya mesti jadi titik fokus Yesus yang “pagi-pagi benar ada di Bait Allah dan mengajar rakyat” (Yoh 8:2). Dan, sungguh, Yesus mesti dibenturkan pada pilihan-pilihan sulit. 

Dilema kah Yesus?

Jika berpihak pada ketentuan Taurat, maka kematian yang dihadapi perempuan tentu adalah penghakiman Yesus terhadap diriNya sendiri. Dia yang mengajarkan damai, cinta dan belaskasihan ternyata ‘tertangkap basah’ pula pada kata-kataNya sendiri. Sebab Ia membenarkan darah, kekerasan dan maut! Yesus pasti dihakimi massa sebagai pengajar penuh dusta.

Andaikan Yesus membela perempuan itu? Bahwa kekerasan seperti tidak boleh ditimpahkan pada perempuan-perempuan seperti itu? Maka menjadi amat jelas dan kuat alasan bagi para elitis agama Yahudi (orang Farisi dan ahli Taurat)  untuk “memperoleh sesuatu demi mempersalahkanNya” (Yoh 8:6).

Dalam situasi penuh dilematis itu, Injil Yohanes mencatat dua reaksi singkat Yesus namun penuh makna. Yesus menulis di tanah. Entah apa yang ditulis Yesus di tanah itu? Mungkin kah Yesus alihkan perhatian para ahli Taurat dan orang farisi dari perempuan berzinah kepada debu tanah? Bahwa yang menjadi titik terendah dari kesadaran diri adalah “semua manusia itu berdebu tanah?” untuk tidak sebatas bersembunyi dalam alasan “tak ada manusia yang terlahir sempurna….”

Mesti Pulang Kepada Diri Sendiri

Tetapi, kata-kata Yesus memang sungguh menantang, “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini” (Yoh 8:7). Yesus, yang hendak dicobai dengan kisah perempuan kelam itu, kini menjadi tokoh utama yang ‘mencobai dan menguji’ sikap batin dan suara hati orang farisi dan para ahli Taurat itu.

Kita dapat lanjut merenung kisah perempuan berzinah dalam beberapa pokok refleksi sederhana:

Pertama, dosa selalu menjauhkan manusia dari Tuhan, Penciptanya. Tetapi pertobatan adalah sebuah jalan pulang untuk menghadap takhta belaskasih dan kerahimanNya. Nampaknya perempuan itu mesti kembali pada Tuhan walau dengan ancaman dan tujuan maut yang bakal dialami.

Kita pasti bersikap sinis pada apa yang hendak dilakukan oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk mencobai Yesus dan pasti harus merajam mati perempuan itu. Namun, tidak kah kita bisa melihat sisi lain andaikan mereka membawa perempuan itu ke mahkamah agama atau pengadilan massa? Bukan kah darah dan kematian tragis yang bakal terjadi?

Mengakui bahwa kita adalah manusia rapuh dan berlumpur dosa sering bukan menjadi hal yang mudah! Kita sering bisa bertahan dalam ‘alam kedosaan itu’ dengan ragam ‘pembenarannya.’ Tetapi dapat terjadi bahwa ada cara-cara ‘tegas, kasar, dan penuh ancaman’ yang dapat menyentak dan mengaktifkan kembali kesadaran suara hati kita untuk kembali pada Tuhan dan belaskasihNya.

Kedua, kita tentu mesti tiba pula pada cara penyelesaian Yesus akan kisah suram perempuan itu dan sikap orang farisi dan para ahli Taurat. Mari kita ingat kisah Susana, perempuan yang nyaris mati akibat tuduhan palsu berbuat zinah oleh dua lak-laki tua Israel. Nyata-nyata Susana tak bersalah! Ia dibebaskan oleh kecerdasan Daniel (baca tambahan Kitab Daniel Bab 13).

Tetapi, bukan kah penyelesaian Daniel berujung darah, kekerasan dan maut yang mesti dialami oleh kedua tua-tua itu? Dan akhirnya khalayak ramai bersorak-sorak karena ‘keadilan’ yang berdarah itu? Ini tentu berbeda telak dengan keadilan atau pengadilan dalam Yesus selalu berbasis pada belaskasih. Tanpa kekerasan! Bebas dari darah dan kematian sia-sia.

Padahal sebenarnya, menurut Taurat, perempuan berzinah itu sulit terhindar dari darah, kekerasan dan kematian mengerikan. Pengadilan Tuhan jauh dari darah dan kekerasan yang menimpah manusia. Biarlah ‘cuma’ Dia sendiri yang menderita, yang berduri dan yang berdarah di kayu salib demi membebaskan kita manusia. 

Pengadilan dalam Yesus sungguh menyentuh dan menantang hati nurani manusia untuk pulang kembali kepada karunia belaskasih Tuhan. Itulah yang menjadi pokok utama kehadiran, ajaran, serta sikap Yesus dalam menyapa setiap kita manusia.

Ketiga, saat-saat membawa perempuan berzinah itu kepada Yesus sepertinya orang farisi dan para ahli Taurat juga ‘membawa diri mereka sendiri’ kepada Yesus untuk ditatapNya. Batu-batu kekerasan penghakiman yang siap dilemparkan kepada perempuan itu nampaknya ‘mesti mengalah pada debu tanah kelembutan yang di atasnya Yesus menulis hukum belaskasih, kemurahan hati dan pengampuan.

Tak ada ‘yang kalah dan yang menang’ dalam kisah perempuan berzinah. Setiap kita sesungguhnya tak bisa jauh dari belaskasih Tuhan yang menyelamatkan. Kita bisa saja membawa kedurhakaan sesama kita ke sana ke mari, ya kapan dan di mana saja. Kita bisa nampaknya bebas tak terkendali untuk melemparkan kata-kata ‘batu’ penghakiman. Tetapi, apa kah dengan itu kita merasa diri untuk tampil sebagai ‘orang benar dan menang?’

Tetapi, sebagai murid Yesus, kita semua, tidak boleh membawa sesama dalam penghakiman yang ‘yang mematikan.’ Pengampunan atas dosa-dosa adalah hak Tuhan. Namun, kita pasti memiliki kewajiban injili demi membawa sesama kita  di dalam doa-doa dan ungkapan hati penuh harapan: Agar semuanya ada di dalam Kasih Tuhan yang membebaskan. Memang, tak mudah untuk membuang ‘batu-batu penghakiman’ dalam bentuk apa saja terhadap sesama yang terhina dan dianggap nista. Tetapi, apakah itu mustahil?

Keempat, Tuhan pasti tak membenarkan perbuatan dosa. Sepantasnya kita tak terpaku pada penggalan kata-kata Yesus pada perempuan itu, “Aku pun tidak menghukum engkau!” yang ditafsir seolah-olah  bahwa Yesus membenarkan perbuatan perempuan itu. Tidak!

Sebuah mandat kepada hidup baru diamanatkan kepada perempuan itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh 8:11). Kisah perikop Injil ini berawal dari kenyataan perbuatan dosa, namun berakhir dengan sebuah harapan tidak berbuat dosa lagi.

Akhirnya…

Orang farisi dan para ahli Taurat telah tinggalkan Yesus seorang diri bersama perempuan itu. Mungkin kah mereka pergi hanya untuk kembali mencari-cari para pendosa lainnya? Dan lalu harus menghakimi dengan cara mereka sendiri? Entahlah.

Tetapi, kita pasti tahu bahwa sesama kita juga sering terlalu rapuh dalam cinta, belaskasih dan pengampunan. Terkadang kita pun mesti pasrah yang sehat akan sikap sesama. Sebab itulah, meretas jalan pulang kembali pada cinta dan belaskasih adalah keutamaan yang mesti diperjuangkan.

Kita pun mesti ‘tinggalkan Yesus dan pergi sebagai orang yang diutus dan dibebaskanNya.’ Tentu tidak hanya sekedar untuk tahan diri untuk menjauhi dosa. Tetapi di atas segalanya kita berani memaklumkan bahwa sungguh besar rahmat dan belaskasih Tuhan. Yang sungguh membebaskan!

Itulah yang diingatkan kepada kita pula oleh St Yohanes Maria Vianey. Pastor sederhana yang berjiwa besar. Yang sabar untuk menerima siapa pun, yang mendengarkan ratapan kedosaan, dan yang menunjukkan belaskasih dan pengampunan dalam Kasih Agung Tuhan.

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

Tuhan memberkati.

Amin

 

Posting Komentar

0 Komentar