Header Ads Widget

Satu Permenungan ; Belenggu-Belenggu KAMI di Salib Golgota


Belenggu-Belenggu KAMI di Salib Golgota

(satu permenungan)

"Ketamakan dan kebodohan sungguh telah menghukum mereka yang mabuk kekuasaan dan lupa diri"

(Najwa Shihab, presenter berita - jurnalis, 1977)

P. Kons Beo, SVD


Balada Salib nan Teguh

Salib. Sepertinya semuanya telah berakhir. Nampaknya tak ada yang tersisa. Setelah Yesus, Tuhan, bersuara nyaring. Dan lalu melembut. "ALLAH-Ku, ya ALLAH-Ku.. mengapa kah Aku Kau tinggalkan?" Dan segalanya berakhir. Berujung senyap, "Selesailah sudah!"

NAMUN ruah Yesus tak  lantas lenyap di Salib.  Ada nafas hidup baru yang terhembus. Salib ternyata tak punya narasi sesingkat itu. Untuk sebuah kisah pilu hanya sebatas tiga jam. Sebab, Salib sebenarnya membongkar alam kafirun hati dan tindak manusia yang pengap.  

Salib: Cahaya dalam Kegelapan

SALIB, sungguh, bentangkan serentetan episode laknat. Yang coba disembunyikan. Kekerasan telah jadi ungkapan naluri beringas. Saat  akal sehat digilastindas. Ketika nurani telah meredup dan lalu jadi buta. Manusia telah begitu mudah terlempar ke dalam rawa-rawa dehumanisasi paling keji. 

YESUS, TUHAN, telah jadi bidikan sarat kebencian. Saat hati nurani manusia telah diterkam oleh monster Kuasa, Ambisi, Massa,  Intoleransi (KAMI)

Bukan kah saat Ia  dilahirkan, Herodes, raja Yahudi itu jadi panik. Seakan kuasanya segera  berakhir oleh seorang Raja yang baru saja dilahirkan. Jeratan kuasa sungguh membutakan. Tidak kah bayi-bayi Betlehem tak bernoda itu jadi korban infantisida kuasa yang haus takhta? 'Rahel tangisi anak-anaknya dan ia tak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi, ' tulis Matius Penginjil.

Salib: Kerendahan Hati yang tak terkalahkan

Padahal Yesus tak pernah bermimpi jadi penguasa bermahkota fana. Apalagi bila hendak jadi penguasa tiran bermodal senjata kekerasan. Kuasa yang diserukan adalah spirit melayani. Sebab kataNya "Yang berambisi jadi big boss mesti jadi hamba penuh sahaja. Mesti jadi yang terakhir dan  harus melayani. Penuh kerendahan hati dan setia."

Yesus pun tak butuh pedang dan mata tombak. Sebab Ia tak punya musuh untuk diterjang dan dimusnahkan. "Sarungkanlah pedangmu" adalah titah penuh makna. Segala sesuatu mesti terjadi dalam Kasih. Kasih adalah senjata paling ampuh demi tenunan nilai dan rasa kemanusiaan. 

Dan Kuasa yang diplester Ambisi yang menggumpal, bakal jadi amunisi maut. Ingatlah kisah itu. Yesus mencegat Yakobus dan Yohanes yang berambisi di posisi  kanan dan sisi kiri dalam kabinet pemerintahanNya kelak. Keduanya keliru. Sebab, masuk di lingkaran kekuasaan Yesus,  menuntut pengorbanan. Bukan menggarap keuntungan darinya.

Salib: Jalan Turun yang 'Meninggi'

Jalan Yesus adalah sebuah jalan turun. Dari kemuliaan surgawi menuju dunia kemanusiaan. Jalan kenosis (pengosongan diri),  hampa diri, ala permenungan Rasul Paulus bagi orang Filipi, adalah sebuah pedagogi kemuridan. Sebab "Ia tak pernah memegahkan Diri. Ia rela sampai mati. Bahkan hingga mati di kayu salib."

Di jalan turunNya,Yesus berjumpa sekian banyak insan dunia. Penuh ambisi melambung. Sebuah pertarungan ambisional terkreasi. Penuh rekayasa. Sarat strategi licik. Ambisi tak terkendali bikin manusia gelap mata. Suram di nurani jiwa.

Ambisi demi kekuasaan tersenyum ceriah untuk tawaran 'menyerahkan Yesus.' Ada praktek  bohir untuk 'membayar jasa preman jalanan si Iskariot.' Iya, demi melengserkan "Jalan - Kebenaran dan Kehidupan" yang sesungguhnya.

Kemanusiaan yang tetap tersalib

Tidak kah demi kuasa yang sekian ambius itu citra kemanusiaan dapat dibeli dan telah dibayar tunai? Human traficking adalah narasi ambisi ingin jadi kaya.  Di situ, juga tak pernah ada cahaya hati nurani. Martabat manusia sungguh telah tersalib penuh kehinaan.

Kisah pilu penuh tangisan dan air mata tak dipeduli. Sebab, semuanya telah  lunas terbayar dalam varian rekening gendut  "tiga puluh keping uang perak."

Kisah Ambisi tak terkendali terungkap pula dalam seruan-seruan kalap. Penuh kebencian. Liar. Sadis. Brutal. Jorok dan busuk. "Salibkan Dia! Bunuh Dia, biarkanlah darahNya jatuh menimpah kami dan anak cucu kami." Sungguh! Bangsa yang gemar mainkan pedang  akan selalu alirkan bau anyir darah kekerasan sampai ke anak cucu. Itulah yang bisa ditafsir dari suara Sang Guru bagi Petrus di Getsemani.

Kuasa dan Ambisi itu kini memang sudah bertemu Massa. Kuasa dan Ambisi siap membius Massa. Sebab 'kebenaran ala Massa' dianggap powerful. Rasa benci yang dipropaganda sudah cukup untuk menyumbat akal sehat. Untuk debarkan jantung anarkisme dan vandalisme.

MASSA yang telah tercemar diabolic virus sungguh jadi tak berakal waras lagi. Telah terbius oleh bau tak sedap di sel politik dan alam mabuk agama. Tak berdaya lagi walau sekedar untuk bedakan: Mana tindakan makar ala Barabas dan mana seruan kehidupan damai dalam Yesus.  Demi kehormatan palsu atas nama Bait Suci dan kebesaran nama Allah, Yesus harus mati. 

Lukisan kehidupan damai penuh kekariban zaman mesianik dalam gema Nabi Yesaya seakan jadi hancur. Berantakan berkeping-keping. Sebab singa, macan  tutul, beruang dan ular tedung tetap pada naluri predatornya. 'Segala yang lemah, kecil, tak berdaya ala bayi, lembu, kambing dan anak domba tetap jadi mangsa.  Tanpa belaskasih.'

Intoleransi: Saat Akal dan Nurani menyempit

Di situlah Kuasa penuh Ambisi yang telah memperdayai Massa terseret pada amukan tak terkendali pada tindakan Intoleran. Dan, bukan kah episode kematian di tiang Salib Golgota telah berkisah tentang semuanya? 

Kuasa - Ambisi - Masa - Intoleransi (KAMI) ternyata bisa jadi simbol kepanikan. KAMI bicara tentang keagungan Bait Suci dan kesakralan agama. Ia lantang bersuara demi negeri dan tanah air.  Namun sebenarnya ia sembunyikan kekerdilan hati. KAMI tak mampu sembunyikan tangan-tangan jahil yang membawa Yesus ke tiang penyaliban. 

Kuasa - Ambisi - Massa - Intoleransi yang panik dan salah tingkah

Hingga saat ini Kuasa - Ambisi - Massa - Intoleran masih nyata terbaca. Virus KAMI itulah yang jadi ilham satanic yang membius Vladimir Putin. Yang sekian barbar menerjang Ukraina. 

Suara Paus Fransiskus lantang terdengar di seruan Minggu Palma, 10 April 2022. Kisah-kisah penyaliban Yesus masih berlangsung. Semuanya terenung dalam suara tangisan jerit pilu menyayat. Kaum tua, anak-anak dan bayi harus memikul salib dalam derita.  Sungguh tak tertanggungkan. Di Ukraina sepertinya yang tersisa hanyalah darah, tangis dan air mata.

DARI Istana Pilatus  hingga Golgota, suara Kuasa - Ambisi - Massa - Intoleransi (KAMI) riuh bergemuruh kesetanan. Kemenangan  siap dirayakan. Tembang 'we are the champion' siap dikumandangkan. Ada senyum ceriah. Namun tak mampu sembunyikan hati yang suram dan seram.

Memang Yesus tanpa perlawanan. Ia tak turun dari salib. Ia telah remuk hingga tulang terbilang. Namun Ia lah yang jadi pemenang. Walau dalam sepotong seruan,  "Bapa, ampunilah mereka. Sebab mereka tak tahu apa yang mereka perbuat." 

Akhirnya..

Sungguh! Akhir dari kisah Salib adalah pengampunan tanpa syarat. Itulah kemenangan Salib atas segala sikap dan praktek jin kafir. Salib selalu lebih tegar dan agung dari segala praktek koruptif demi Kuasa - Ambisi - Massa - Intoleransi (KAMI). Sebab senjata ampuh yang terpantul pada Salib adalah Kasih - Pengorbanan - Kesetiaan (KPK). 

Maka hingga kapan pun tetap setialah pada Palang Kemenangan Kasih tak bertepi. Dan serukanlah penuh iman: "Kutetap Pegang Salib Itu...." 

*Verbo Dei Amorem Spiranti*

Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong, Keuskupan Ruteng membutuhkan dukungan dari umat beriman terhadap upaya pembangunan Gereja. Kami sangat senang jika anda mengambil bagian, donasi anda sekalian bisa dikirim ke rekening resmi panitia pembangunan. TUHAN MEMBERKATI.




Posting Komentar

0 Komentar