Header Ads Widget

Pojok Kitab Suci ; Kasih Tak Akan Pernah Pergi dari Hati Kita

 

Prosesi Patung Bunda Maria dari KBG Petrus Kanisius ke KBG Benteng Gading, Jumaat (13/5/2022) di Wilayah Danau Galilea, Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong, Keuskupan Ruteng. Menghidupkan Kembali Tradisi ini di Bulan Rosario di Tahun Pastoral Pariwisata Holistik.

Kasih Tak Akan Pernah Pergi dari Hati Kita

-satu permenungan- 

Satu sentuhan (kasih) Kristus bernilai perjuangan seumur hidup” (Abert Benjamin Simpson, teolog-pewarta Kanada, 1843-1919)

Bible Corner, Pekan V Paskah, Minggu 15 Mei 2022

Pater Kons Beo,SVD, ROMA, ITALIA

(Injil Yohanes 13:31-33a.34-35)

 

P. Kons Beo, SVD

 

Di malam perjamuan itu dicanangkan satu Perintah Baru. Yesus menempatkan Perintah Baru itu ke dalam hati para muridNya. Kata Yesus, “Aku memberikan satu Perintah Baru kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi…” (Yoh 13:34).  Itulah perintah mulia agar Kasih Tuhan itu senantiasa menjadi roh, spirit, semangat, atau kekuatan dasar yang menghubungkan Para Murid dengan Yesus, Tuhan dan Guru. Demikian pun para murid terhubung satu sama lain dalam satu ikatan Kasih.

Mari kita renungkan Kisah Malam Terakhir Yesus bersama para muridNya.

Pertama, aura perpisahan sekian terasa dalam Perjamuan malam itu. Yudas meninggalkan ruang perjamuan itu (Yoh 13:31). Ia lepaskan persaudaraan para murid bersama Yesus. Yudas mengikuti jalan dan keputusan yang diambilnya sendiri. Demi menjual dan menyerahkan Yesus.

Aura perpisahan juga lahir dari kata-kata Yesus sendiri. Sabdanya kepada para murid, “Hai anak-anakKu, tinggal sesaat lagi Aku ada bersama kamu” (Yoh 13:33a). Di saat terakhir bersama para muridNya, Yesus memberikan Perintah Baru itu. Kiranya pesan-pesan akhir itu tetap dikenang dan terutama dihayati oleh para murid.

Bagi kita, murid-murid Tuhan, sekian mudah kah turuti amanat penghayataan Kasih yang dicanangkan Tuhan? Si Iskariot (Yudas) meninggalkan perjamuan kasih. Mata rantai Kasih terputus di dalam dirinya. Sebab ia banyak kali lebih berpihak pada cinta akan yang fana. Ia korbankan kebersamaan dalam kasih demi lebih berfokus pada jalan cintanya sendiri.

Kasih yang mempersekutukan dalam Yesus Tuhan sering hadapi godaan dan tantangan yang tak mudah. Pelayanan dalam kasih bisa terbentur oleh orientasi harta-materi-mamon yang sekian sengit. Persekutuan Kasih bisa tercemar pula oleh himpitan arus ingin dihargai pun disanjung. Sebab gelombang pencitraan diri di atas segalanya bisa menjauhkan kita dari persekutuan kasih dengan sesama.

Kedua, Kasih yang kita hayati adalah kasih insani. Tak ada yang salah dari aura kasih itu. Tidak kah  kita mesti berlaku baik dan senonoh terhadap sesama yang telah tunjukan kasih dan kebaikannya? Membalas jasa dan segala kebaikan sesama dengan kebaikan adalah proklamasi bahwa kebaikan itu mesti terus dilanjutkan.

Yesus berkata pada muridNya, di saat itu, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pun kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34). Pertanyaannya adalah bagaimana kita kini mesti merasakan kasih Tuhan? Bagaimana kasih Tuhan itu hadir dan menyata dalam pengalaman hidup kita? Dan demikian ‘kita memang mesti saling mengasihi?’

Kasih Tuhan itu nyata! Kasih Tuhan ‘tak mengawang dan mengangkasa-langit.’ Kasih Tuhan itu membumi dalam setiap peristiwa dan pengalaman hidup yang sungguh kita alami. “Bahwa kita menjadi manusia dan hidup” adalah tanda paling dasar bahwa Tuhan sungguh mengasihi kita. Bukan kah ada sekian banyak sesama, dengan dan bersama mereka, Tuhan menunjukkan belaskasih dan kemurahanNya?

Satu pertanyaan reflektif, bersama pemazmur, hendaknya kita gelorakan di dalam hati, “Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan segala kebaikanNya terhadap aku?” (Mzm 116:12). Kasih Tuhan yang sedemikian besar besar dinyatakan dalam kasih dan pengorbanan. Tindakan kasih itu diungkapkan sebagai tanda nyata dari sikap pro akan nilai-nilai kehidupan.

Ketiga, tindakan dan penghayatan hidup kasih itu adalah ungkapan dari kesaksian hidup. Yesus, Guru dan Tuhan, tinggalkan banyak Sabda bertuah, sikap serta tindakan kasih. Kepada para murid diingatkanNya, “Kamu telah menerima dengan cuma-cuma, maka berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8). Dan firmanNya, “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk 6:37) sepantasnya ditangkap secara luas dalam artian ‘berpihak dan bertindak demi sesama yang berkebutuhan dan sungguh berkekurangan.’

Gereja yang diakonia-karitatif adalah Gereja yang melayani. Itulah kita sekalian yang memiliki kepekaan hati dan rasa solider terhadap sesama. Sebagaimana Yesus memandang sesama dalam ‘sinar mata kasihNya’ seperti itulah ‘aura sinar mata kasih’ yang menggerakkan kita untuk memandang dan bertindak kasih bagi sesama.

Aura kasih pun mesti menjadi kesaksian hidup dalam suasana penuh persaudaraan. Yesus, sang Guru, amanatkan tentang pengampunan, saling menegur dan memperingatkan dalam kasih, dan terutama dalam ‘saling mendoakan dan memberkati.’

Bagaimana pun patut dicermati dan direnungkan ‘alam kasih kemuridan kristiani’ tentu sering kali hadapi tantangan yang tak mudah. Sikap-sikap anti kasih sering terjadi dan menjadi pengalaman nyata. Ada keyakinan bahwa semuanya berakar pada sikap ingat diri-egoisme sempit dan tak bergaris batas.

Egoisme diri bisa hadir dalam keangkuhan yang merendahkan sesama; dalam ketamakan yang mengumpulkan bagi diri sendiri tanpa kepedulian; dalam kebencian dan balas dendam yang alergi akan maaf dan pengampunan; dalam pemaksaan kehendak yang merusakkan keadilan-kebenaran; dalam berbagai ekspresi kekerasan yang porak-porandakan alam perdamaian dan harmoni hidup.

Dalam semua tantangan dan suasana abrasi-polusi-iritasi kasih yang teralami, seorang murid Tuhan tetap berjalan dalam kekuatan kasih. Selalu berkeyakinan bahwa kasih-lah yang memenangkan segalanya (amor vincit omnia). Sekali kita merasa bahwa Yesus sungguh mengasihi kita, kita bakal tak sanggup keluar dari jalan terang kasih itu. Bagi kita, kasih adalah perjuangan seumur hidup.

Mari kita hidup dalam semangat Rasul Paulus. Ia sungguh telah menjadi ‘manusia baru yang telah ditangkap oleh Kristus dalam KasihNya yang agung. Betapa agungnya kasih dalam Kristus. Kita merenungkan madah agung kasih yang mesti menyata seperti yang dilukiskan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (1Kor 13:1-13), “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya adalah KASIH” (1Kor 13:13).

Kita semua hidup karena kasih Tuhan. Kita pun bertumbuh dan berkembang dalam kasih Tuhan. Kasih Tuhan sungguh telah menjadi kisah-kisah keseharian yang kita alami. Sebab itu, mari kita sekali lagi merenung dan hayati apa yang diyakini oleh rasul Paulus, “Lakukan semua dalam kasih” (1Kor 16:14). Dan Gereja, kita semua, selalu berkesempatan, berjuang dan terutama berkorban untuk “melakukan semuanya dalam Kasih.” Sampai akhir menutup mata…

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

 

 

 

   

 

x

Posting Komentar

0 Komentar