Kita Sebenarnya Sudah Terlalu
Bebas Berbicara
-satu permenungan-
“Lebih baik diam dan kelihatan bodoh, dari pada
berlagak banyak bicara dan bodohnya lebih kelihatan”
(Ir Lies
Hartono-Cak Lontong – 1970, humoris-Indonesia)
![]() |
Pater Kons Beo,SVD, ROMA, ITALIA |
P Kons Beo, SVD
Ketika Bicara Lepas Kendali
Mari kita
kembali lagi ke suara Kaharuddin. Koordinator BEM seluruh Indonesia itu pasti
tetap diingat seantero Indonesia. Keberaniannya untuk bicara ‘patut diakui.’ Di
HOTROOM Metro TV, 14 April 2022 kemarin itu Kaharuddin sudah tampil bersuara.
Dipandu oleh host sekelas Hotman
Paris lagi. Ada inti bicaranya yang kontroversial.
Kaharuddin punya
satu pertanyaan menukik tentang hari-hari ini, saat kini, di regim ini: “Kita peroleh kesejahteraan? Apakah kita
peroleh kebebasan?” Lepaskan dulu kesejahteraan. Sebab yang namanya
‘kesejahteraan’ selalu punya jalan panjang dalam proses yang terus berlanjut. Tetapi
tentang kebebasan? Ya, kebebasan berbicara dan berpendapat itu?
Adakah kebebasan
berbicara dan berpendapat ditekan dan digembos di alam Indonesia saat kini?
Rasanya ini tak butuh telaah teramat ilmiah demi satu pembuktian. Banyak suara
geram menantang. Terasa terlalu naif untuk yakini apa yang disuarakan
Kaharuddin. Sepertinya ia hanya berjuang untuk ‘coba-coba berpendapat.’ Tak
peduli sedikit pun akan prinsip “contra
factum argumentum non valet” (lawan fakta pernyataan tak kuat).
Benarkah di masa
Orba, Indonesia sesuka hati untuk berpendapat? Tanpa rasa cemas dan takut akan
sikap represif regim? Saat Soeharto berkuasa sepanjang 32 tahun itu, benar kah
ada demo berjilid-jilid sebagai tanda bahwa sungguh ‘Indonesia bebas bicara dan
bebas berpendapat serta bebas bermanuver dalam politik’?
Undang-Undang Demi Bebas Bicara atau Berbicara Sesuai
Pedoman Undang-Undang?
Bila disinyalir
Indonesia bebas bicara sebelum era reformasi, pendapat umum pasti membantahnya.
Sama halnya jika di era Indonesia kini terasa kebebasan berpendapat sungguh ditekan.
Jika Indonesia ingin bicara ‘lepas bebas’ maka yang jadi rujukannya adalah UUD
Pasal 28 e ayat 2. Di situ jelas terbaca
“Setiap orang bebas meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Undang-Undang no
9 Tahun 1988 bicara lugas tentang kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Maka jelas kebebasan berpendapat setiap
orang sungguh dijamin dan dilindungi atas dasar hukum. Namun tetap menjadi
atensi serius untuk mendalami pemahaman semestinya tentang: bebas untuk bicara dan berpendapat atau merdeka menyampaikan pikiran.
“Bebas berpendapat” yang ditafsir dalam artian kasar “seenaknya berbicara” tentu berdampak pada konsekwensi yang lebih luas. Hukum yang elegan tentu tak menyasar ‘isi pikiran dan kebebasan berpendapat atas dasar varian sudut pandang atau perspektif positif di tataran saling memperkaya.
Mari Bicara dalam Semangat Indonesia Raya
UUD 1945 tetap
menjamin hak setiap warga untuk nyatakan pikiran dan sikap. Namun, tak bisa
dilupakan bahwa Pasal 28 e ayat 2 itu sungguh menderang tegaskan tentang
koridor “sesuai dengan hati nuraninya.” Jadi
persoalan serius jika ‘bebas bicara dan bebas berpendapat’ itu ternyata tak
citrakan “alam hati nurani yang tulus,
hening dan bening.”
Bebas bicara
tanpa guideline yang paten pada
akhirnya bisa buyarkan tujuan yang hendak dicapai. Atau malah hanya memperkeruh
suasana atau keadaan. Tidak kah sering terjadi bahwa kebebasan berbicara sering
ternoda dalam modusnya yang cenderung liar serta destruktif-anarkis?
Bagaimana pun
dari kisah Kaharuddin dapat didalami beberapa hal penting sebaliknya. Ada
koridor yang pantas dicermati dan dilewati dalam kebebasan berbicara dan
berpendapat (cf Dwi Nikmah Puspitasari, Kebebasan
berpendapat dalam Media Sosial, 2017)
Pertama, bahwa ‘bicara dan berpendapat’ butuhkan bahannya yakni informasi. Informasi itu digali dari berbagai
pihak, bersifat mendalam dalam kajiannya. Dan tentunya agar informasi itu dapat
dipahami
dalam berbagai sudut pandangnya. Asal berteriak histeris tanpa menangkap dan
tahu akan informasi lengkap dan utuh tentang
substansi tuntutan demo, misalnya, sering
terjadi.
Dan lagi, bahwa informasi sering dikaburkan oleh apa
yang disebut sebagai ‘malpraktek
kompetensi.’ Sebab banyak kali terjadi bahwa tak selamanya bicaranya
seorang yang tergelar pakar hukum tata negara, misalnya, isi bicaranya akan
selalu beraroma kepakarannya dalam ketatanegaraan! Seorang yang (terlanjur) diyakini
sebagai filsuf tak selamanya bicaranya berkiblat pada ‘cinta akan
kebijaksanaan’. Malah bisa lebih menanamkan virus sesat berpikir (logical
fallacy) dan jauh dari kearifan.
Demikian,
seorang yang (terpaksa) bergelar alim ulama atau rohaniwan, tak selamanya
berbicara tentang nilai-nilai kehidupan manusia dalam alam toleransi kebersamaan.
Malah, bicaranya bisa saja menjadi sumber keresahan umum dengan ‘diksi-diksi suram
dan seram yang hanya bikin suasana pecah belah sana-sini.’
Kedua, dibutuhkan apa yang disebut kategorisasi. Asal bebas bicara sering terbelenggu pada rana subyektif. Komentar sering hanyalah
sebatas prasangka pribadi, atau bahwa ada kecenderungan untuk memihak tanpa
dasar. Sungguh tak bijak bila tak dapat dibedakan antara entitas ad rem et ad hominem.
Sering ada
tendensi untuk tak cerdas memahami obyektivitas masalah yang sebenarnya. Tetapi
bahwa kita harus membela matian-matian ‘kita
punya orang.’ Dan mesti membabat ‘siapapun
orang kelompok mereka di sana dan dari
sana punya.’ Berat memang. Bukan kah kelompokisme, groupisme, gethoisme
adalah polusi tak sedap, pengap dan tak sehat dalam satu kebersamaan (komunio)?
Ini belum lagi
bila bebas bicara dan berpendapat itu berkaitan dengan soal kepentingan. Ada
kah sesuatu yang agung mulia selain kepentingan yang lebih luas dan umum serta
menjawabi harapan sebanyak mungkin orang? Massa tentu mesti bersuara tegas dan
jelas jika kepentingan umum dan hak-hak dasar terzalimi oleh otoritas yang
opresif dan penuh kesewenangan.
Ketiga, bahwa amat berbahaya jika tak ada apa disebut persepsi yang sehat. Ini tegaskan adanya kedalaman analisis
atas segala informasi yang ditangkap. Kita tidak asal bicara soal punya data. Tetapi
bahwa data itu sungguh valid. Ia telah lewati kajian atau penelusuran yang
sahi.
Maka amat
dibutuhkan data yang benar dan sungguh atas dasar kebenaran faktual. Atau
sekian banyak informasi yang bergerak cepat dan sekian bebas itu, mesti
berangkat dari kajian yang tepat. Semuanya penting untuk tak bermuara pada
persepsi yang rapuh dan retak.
Informasi sesat
yang ditempel oleh analisis yang eror pasti berujung pada persepsi yang lemah. Situasi jadi kabur dan banyak khaos-nya
disebabkan oleh apa yang disebut sebagai hoaks, propaganda sesat, hasutan tanpa
otak dan hati, penggiringan opini ke jurang kekerasan dengan pelbagai tindak
intoleran.
Persepsi yang
kabur pun terlahir pula dari sikap dan tindak manipulatif otoritas. Apa yang
disuarakan oleh penguasa tidaklah identik
kepastian dan kebenaran. Jika tidak, pasti terbentuklah regim kepastian dan
kebenaran yang tak terkendali. Tetapi wajiblah, adalah keharusan moral bahwa
insan penguasa dan otoritas mesti berbicara atas nama kebenaran demi sekian
banyak orang yang haus dan sungguh rindukan kebenaran, keadilan dan perdamaian.
Keempat, bahwa suara kata-kata itu berdampak. Suara itu tidak ditujukan
kepada alam raya. Tetapi ia menyasar pada pikiran dan hati sesama. Di sinilah
siapapun pembicara berhadapan dengan kondisi psikologis pendengar lainnya.
Terdapat
tanggungjawab moral-sosial dalam setiap kata, ucapan, seruan serta ajakan. Di
sinilah kemampuan discernment pada logos (kata) yang mesti berdampak pada
keteduhan hati pribadi dan ketentraman bersama (lingkungan).
Sekian banyak
kata-kata bijak yang digali, ditemukan serta jadi kunci positif demi
nilai-nilai hidup yang asri. Tetapi, tidak kah bertebaran pula kata-kata provokatif
yang rentan perpecahan dan pertikaian? Di sini, manipulasi kata mudah terjadi
demi libido segala kepentingan yang sempit. Apalagi bila berkaitan dengan
naluri akan kekuasaan serta ketamakan akan yang fana.
Kita bisa saja
alami situasi massa yang rentan manipulasi, rentan penyesatan serta rentan cuci otak demi tindakan-tindakan yang
anarkis. Tetapi sebaliknya pula, bukan kah terdapat kesadaran publik akan kecerdasan
memilah kata dan seruan? Sebab tak semua orang yang sekian naif untuk terjebak
dalam arus penggiringan opini dan dramatisasi keadaan.
“Orang sudah
pada pintar” dalam membaca self-mechanism
atau tindakan menyelamatkan diri dan juga demi kepentingan sendiri melalui
pencitraan, sikap hati menjerit penuh baperan, rasionalisasi lewat tata kata
‘masuk akal yang tak berakal,’ atau pun hingga pada playing victim yang mengimpikan harga tebusan belaskasih!
Akhirnya…
Tumpah darah
Indonesia terkesan semakin bebas bicara. Bebas bicara tanpa kendali, tanpa
norma hati nurani dan tanpa kesadararan moral publik bisa berujung pada ‘air
mata mengalir dan bahkan darah yang tertumpah.’
“Salah kata,
salah ucap, pun salah cara menyampaikan” bisa berujung pada keretakan relasi di
level apa saja. Namun, kita memang tak pernah boleh kehilangan semangat kerukunan
dan kekeluargaan. Jalan musyawarah, silahturahmi, duduk bersama, berdialog,
adalah tradisi luhur berbicara demi
permufakatan. Semuanya demi membawa harapan kepada arah hidup yang lebih
baik.
Verbo Dei Amorem Spiranti
0 Komentar