Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI; Repotnya Jadi Hamba Yang Rasa Diri Penting

Repotnya Jadi Hamba yang Rasa Diri Penting
-sekedar satu catatan-
Bacalah Injli Lukas 17:5-10

‘Nilai dari seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggungjawab, mencintai hidup dan pekerjaannya”

(Kahlil Gibran, seniman, penyair, penulis, 1883-1931)


P. Kons Beo, SVD


Menjadi hamba? Jadi orang yang jalan hidupnya ‘di atas suruhan atau perintah orang lain?’ Ini bukan pekerjaan atau keadaan yang ‘mengenakan.’ Kebanyakan orang punya cita-cita hidup mandiri. Lepas bebas. Artinya, orang merasa tak mau ‘diatur-atur, distir, dan apalagi dipaksa-paksa serta ditekan-tekan untuk melakukan sesuatu.

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; Semua yang telah dan kini dialami sungguh akan berakhir.

Namun, siapapun tak bisa menolak kenyataan akan kebergantungan antara manusia. Yang disebut ‘kemandirian mutlak’ bukanlah satu kenyataan! Sebab, setiap kita manusia pasti bergantung pada yang lain. Di situlah, seluruh diri kita dipersembahkan kepada ‘yang lain’ dan terutama demi nilai-nilai yang lebih luas. Kita persembahkan diri kita demi kebaikan bersama.

Andaikan tidak demi kebaikan bersama, satu pertanyaan mendasar pasti selalu menerpa kita. Pertanyaan yang dimaksudakan adalah “Sebenarnya untuk apa kita hidup?” Apakah hanya demi diri kita sendiri? Ini jelas sesuatu yang tak mungkin. Sebab, hidup setiap kita miliki bercitra dedikatif dan orientatif. Artinya, punya nilai persembahahan diri yang berorientasi pada nilai.
Mari kita renungkan secara ‘acak dan bebas’ dari kata-kata Yesus kepada para rasulNya.

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; HIDUP ini adalah satu ziarah panjang penuh terbuka.

Pertama, “Mari segera makan...” Siapapun kita adalah ‘tuan untuk dilayani.’ Kita punya banyak hal yang menjadi kekuatan bagi kita agar ‘orang lain bekerja atau katakan berhamba pada kita.’ Di situ, kita tiba pada keyakinan diri pribadi bahwa nasib kehidupan orang lain itu (hamba) sungguh tergantung pada diri kita dan terutama pada apa yang kita punyai. Jika hal ini yang tergambar kuat dalam diri, maka kita tergoda untuk takhtakan diri pada posisi lebih (superior).

Itu berarti seorang pekerja (hamba) hanya dipandang dalam relasi pekerjaan. Dan tentu juga dalam orientasi demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Ketika Yesus bentangkan satu pertanyaan “Apakah ia berterimakasih kepada hamba itu?” sebenarnya Yesus ingin mengubah satu cara berpikir dan mental yang lama kepada satu cara pandang yang baru.
Mungkin saja dalam ungkapan pasar, “Jangan karena orang hidup dan bergantung pada kita, jadinya kita sekian bermental bos.” Mungkin terasa sulit untuk mengatakan kepada seorang hamba yang baru saja kembali bekerja, “Mari segera makan” (cf Luk 17:7).

Adalah lebih mudah untuk mengatakan,

“Sediakanlah makananku! Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai aku selesai makan dan minum; dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum!”
(Luk 17:8)

Kiranya sikap dan mental ini yang harus diubah dan berubah. Toh, kesalingan dalam melayani mesti menjadi acuan di dalam hidup bersama.

Kedua, “Apakah ia berterima kasih kepada hamba itu?” (Luk 17:9). Mungkin sederhana saja untuk disadari. ‘Seorang hamba, orang yang membantu, pekerja, karyawan, atau apapun namanya’ adalah tandanya nyata bahwa ‘betapa rapuhnya, lemah, tak berdaya atau keterbatasannya diri kita.’

Tak pernah ada ‘superman atau superwoman’ atau manusia plus dalam hal apa saja. Kita sungguh tergantung dari kebaikan, kemurahan, kekuatan, kelebihan, ketrampilan atau serba kehebatan sesama dalam perbagai variasinya.

Baca juga yang ini; Satu permenungan : Cemas Bercahaya di Atas Panggung 

Perhitungkan secara bijak dan juga tentu dengan penuh kerendahan hati: kita ‘jadi orang atau jadi manusia,’ kita disebut sebagai ‘orang yang sukses atau berhasil,’ atau jalan hidup kita menjadi luas terbentang. Penuh harapan dan sukacita, sebab ada sekian banyak sesama yang ‘mengabdi dalam kata, dalam perbuatan, pun dalam diam’ demi seluruh jalan hidup kita.

Sebab itulah, marilah kita bersyukur, mari kita haturkan dan ungkapkan rasa terimakasih kita yang tulus. Dan tentu selalu terdapat kewajiban moral dan rohani bagi kita untuk terus melanjutkan kebaikan-kebaikan itu.

Baca juga yang ini; Fidelis Lejo, Ketua Wilayah Kapernaum Tuke; Kitab Suci merupakan sumber Iman serta menjadi pedoman hidup bagi umat katolik

Ketiga, “Kami ini adalah hamba-hamba yang tidak berguna…” Menjadi seorang hamba tetaplah dalam semangat menjadi seorang hamba. Tentu dalam semangat Yesus, Hamba segala hamba yang setia dan rendah hati.

Menjadi “hamba yang tidak berguna” tetap mengacu pada nilai lain yang lebih agung demi sesama dan demi kebaikan yang lebih luas. Sebab itu, kesetiaan, ketulusan, kerendahan hati serta pengorbanan tetap menjadi warna dasar ‘apa adanya.’ Di situlah terletak marwah atau keaslian jati diri seorang hamba.

Namun, sebaliknya, saat memproklasikan diri sebagai ‘hamba yang berguna’ maka segera masuklah virus pencitraan diri. Maka, badai kepura-puraan segera datang menerpa seorang ‘hamba,’ yang menjadikannya palsu dalam ‘kesetiaan, ketulusan, kerendahan hati dan pengorbanan.’
Banyak ‘hamba’ yang bikin diri setia, tulus, rendah dan rela berkorban, namun sebenarnya ia memiliki ambisi dan hasrat yang egosentrik, demi kepentingan terselubung. Para murid Yesus, Gereja, kita semua terpanggil untuk menjadi hamba-hamba yang tidak berguna.

Citra ‘hamba yang tidak berguna’ kita itu terlebur dan berakar dalam diri Yesus sendiri. Ia adalah Hamba Sejati yang datang, bukan melakukan kehendakNya, melainkan kehendak Bapa yang mengutusNya (cf Yoh 4:34). Betapa rendah hati Yesus, sebagai Hamba, yang tidak bermegah dalam kemuliaan ke-allahan-Nya. Itulah yang dilukiskan oleh Rasul Paulus:

“…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan DiriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”
(Flp 2:6-7)

Selalu ada kesempatan bagi setiap kita untuk (kembali) belajar menjadi ‘hamba yang tidak berguna.’ Yang terutama adalah jangan biarkan segala atribut ‘kekuasaan, kebesaran, keistimewaan, serta segala kehebatan’ yang bisa menjadi jerat demi kebesaran diri sendiri.

Sebab yang selalu terbaik adalah “tetap jadi hamba bersahaja, yang dengan segala apa adanya, siapapun sesama dapat dihantar kepada kehidupan yang baik dan dalam kemuliaan Nama Tuhan.
Sungguh luar biasa Anda, yang dalam kacamata manusiawi, Anda sebenarnya potensial dan sesungguhnyalah jadi ‘pemilik, majikan, tuan, pembesar, orang penting’ namun Anda tidak berkonsentrasi pada posisi-posisi tersebut. Sebab, yang hanya terungkapkan adalah ‘perbuatan baik dan penyerahan diri kepada nilai kehidupan itu sendiri. Iya, demi sesama dan dunia.

Jika sudah mulai belajar rasa diri ‘jadi orang penting,’ betapa repotnya kita untuk hanya membangun image sana-sini bahwa ‘kitalah orang penting.’ Maka, sekali ‘jadi hamba yang tak berguna, tetaplah jadi hamba yang tak berguna.’ Sebab yang paling utama adalah “…hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17:10).

Bukan kah demikian?

Verbo Dei Amorem Spiranti
Selamat hari Minggu
Tuhan memberkati. Amin

Posting Komentar

0 Komentar