Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI; Bukan Garam Yang Terlalu Mengasinkan, Bukan Pula Cahaya Yang Teramat Menyilaukan

Bukan Garam yang terlalu Mengasinkan, Bukan pula Cahaya yang teramat Menyilaukan
bacalah Injil Matius 5:13-16



Renungan, Minggu 05 Februari 2023


Baca juga yang ini : Kegaduhan Yang Tak Pernah Bertepi

Ini bicara tentang iman. Iman itu, setidaknya, mesti ditangkap dalam arti seluasnya. Iman, di sisi tertentu, adalah ulasan tentang isi iman itu sendiri. Itu dikaji dari Kitab Suci dan Tradisi. Dan semuanya lalu diajarkan sebagai rangkaian kebenaran iman.

Iman adalah juga kisah keseluruhan diri dan hidup kita, terlebih secara pribadi, untuk menanggapi pesan Tuhan. Demi memaknai pula apa yang menjadi penyelenggaraanNya yang terjadi dalam hidup. Aura hidup iman terungkap ketika kita masuk kepada perjumpaan dengan Allah yang sungguh dicintai dan dirindui.

Tetapi tak dilupa pula bahwa soal iman adalah soal ‘kebertahanan, kesetiaan, penyerahan diri’ pada Allah dalam seluruh suka-duka hidup. Dalam setiap situasi dan peristiwa hidup yang dialami. Sebab, terkadang ada saja tantangan yang tak kecil.

Orang bisa saja lupakan Tuhan-nya saat ‘terlalu bersukacita. Di saat-saat alami segala keberhasilan.’ Juga tinggalkan Tuhan ketika alami hidup terasa berat. Kita kehilangan keyakinan pada Allah, yang seharusnya ‘tak membiarkan nasib buruk dan semua kemalangan dalam hidup.’ Iya, kita sungguh kecewa akan Tuhan.

Baca juga yang ini : Kolekte sebagai bentuk tanda syukur kepada Tuhan

Namun, tidak kah di sini, Tuhan ‘hendak diperalat’ hanya sebagai jalan untuk mengalami segala jaminan, keberhasilan, keuntungan, serta aneka kesuksesan? Dan, Tuhan segera ‘dilepas, diganti, bahkan dibuang’ saat IA tidak dilihat dan dialami sebagai jembatan menuju keuntungan. Yang tidak berpihak pada ‘kepentinganku.’

Kini, mari menangkap makna iman dalam artian praksi. Katakan itu sebagai kisah hidup nyata dalam keseharian. Itulah iman yang diungkapkan dalam tindakan dan perbuatan nyata. Rasul Yakobus ingatkan secara tegas, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17).

Iman tidak hanya merupakan satu ‘kisah batiniah’ kepada Allah yang diimani. Tetapi, bahwa iman mesti tampak dalam buah-buah yang dihasilkannya. Sebab itulah iman sebenarnya berbicara juga tentang daya hidup kita yang berdampak pada hidup nyata sesama.

Baca juga yang ini; Satu Permenungan; Kegaduhan Yang Tak Pernah Bertepi

Maka, seruan Tuhan, “Kamu adalah garam dunia… Kamu adalah cahaya dunia” (5:13.14) adalah satu panggilan kesaksian injili. “Identitas garam” merujuk pada penghayatan iman yang memberi rasa pada sesama dan dunia.

Terdapat sekian banyak nilai injili yang mesti diusahakan, dan pada titiknya dapat dialami oleh dunia. Kehadiran penuh makna sebagai murid Kristus adalah tanda sukacita injili. “Garam dunia” dapat dibahasakan sebagai PEMBAWA “ damai, cintakasih, pengampunan, kerukunan, kepastian, kebenaran, harapan, kegembiraan, terang....”

Apakah hidup kita sungguh menjadi “garam” pembawa rasa dan nilai Injili? Hidup kristiani bukanlah “dinamika hidup mati rasa....”

Tuhan juga ingatkan para murid dan kita untuk menjadi Cahaya. Ketika cahaya dipertentangkan dengan kegelapan, maka kemuridan Tuhan terpanggil menjadi satu jaminan harapan dan terang kehidupan. Hidup itu indah. Bagaimana pun dunia tetaplah dunia yang bentangkan segala tantangan.

Dunia sungguh rapuh yang berujung pada aneka kekerasan, tekanan, ketidakadilan, kemiskinan, keadaan serba minus, kepalsuan,serta perseteruan antar manusia. Tidak kah ini adalah alam serta suasana penuh kegelapan hidup?

“Identitas terang” menarik setiap murid Tuhan untuk ‘bercahaya.’ Untuk tampil penuh perjuangan dan pengorbanan demi menjangkau sesama dalam keadaannya tak beruntung, ‘penuh kegelapan.’ Kata-kata Tuhan, yang diperdengarkan Nabi Yesaya, adalah bahasa praktis yang mesti dinyatakan dalam keseharian:

“Aku menghendaki supaya engkau membagi-bagi makananmu kepada orang yang lapar, dan menerima dalam rumahmu orang-orang miskin yang tak punya rumah. Dan apabila engkau melihat orang yang kekurangan pakaian, haruslah engkau memberi dia pakaian, dan menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Jika kamu berbuat demikian, maka cahayamu akan terang-menderang laksana fajar”
(Yes 58:7-8a)
Tentu, hidup beriman sebagai terang, tak sebatas aksi yang karitatif sifatnya. Saat kita ‘hanya merasa terpanggil’ untuk berbuat baik dan memberi perhatian kepada yang menderita.

Alam kegelapan bisa terlahir oleh struktur yang menindas, yang menekan, yang ‘membakukan ketidakadilan, dan pro pada kepentingan orang atau kelompok yang zalim.’ Itulah alam ‘kegelapan yang telah melembaga. Yang telah dinyamankan dalam struktur yang gelap dan zalim.

Baca juga yang ini; Satu Permenungan Iman KATOLIK; Padang Gersang Kerohanian vs Rindu-Nya Tuhan yang Menanti

Maka, di sini, panggilan kepada cahaya menuntut keberanian untuk berpihak pada ‘yang lemah, yang voiceless’ (yang tak bersuara dan dibuat untuk tak sanggup bersuara).

Tentu, panggilan untuk ‘menjadi garam dan cahaya dunia’ menjadi tantangan bagi diri sendiri. Untuk tinggalkan segala ‘zona rasa dan zona terang’ yang mati-matian hanya berpihak kepada kepentingan sendiri.

Dan akhirnya, ‘panggilan menjadi garam’ akan tetap dan selalu memberi rasa bila “garam itu selalu ingat akan samudra-lautan.’ Garam memberi rasa dalam relasinya yang intens dengan ‘asalnya yakni Lautan itu.’ Kita, memberi arti pada dunia dan sesama dalam kekuatan relasi kita dengan Yesus, Tuhan dan Guru.

Kita pun menjadi terang dunia di dalam Terang Sejati yakni, Tuhan sendiri. Jika tidak, maka ada godaan untuk ‘cahayai diri sendiri, untuk hanya buat diri sendiri jadi bintang di antara mirisnya nasib sesama dalam kegelapan. Tanpa sinar bagi sesama dan dunia.

Kata St Arnoldus Janssen, “Misionaris bukanlah pelita yang bernyala itu, melainkan harus memperlihatkan pelita yang bernyala itu, yakni Kristus” Kasih Kristus itu adalah “Pelita yang bernyala itu.” Biarlah dunia dan sesama mengalami terang dari “Pelita yang bernyala itu.”

“Tuhan, biarkanlah kami jadi garam memberi rasa sewajarnya. Dan semoga hidup kami pun jadi sederhana dan apa adanya. Yang tak sekian terang bersinar yang membutakan diri kami sendiri dan sesama....”

Verbo Dei Amorem Spiranti
Selamat Hari Minggu
Tuhan memberkati. Amin......

P. Kons Beo, SVD





Posting Komentar

0 Komentar