Header Ads Widget

Perubahan Iklim Sedang Terjadi Berdampak Kepada Kemiskinan Dan Krisis Pangan, Kita Perlu Membicarakanya Bersama-Sama


Erosi akibat Curah Hujan Tinggi

umpungjayasiar.com ,RUTENG. Perubahan iklim saat ini menjadi salah satu isu yang hangat dibahas dikalangan akademisi dan para pengambil kebijakan, baik di tingkat Nasional maupun Internasional. Persetujuan Paris misalnya, yang merupakan sebuah KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA tentang Perubahan Iklim, yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia adalah salah satu contoh betapa pentingnya isu Perubahan iklim adalah isu yang sangat serius untuk segera ditangani.


Iklim didefinisikan sebagai kondisi atmosfer, rata-rata pada suatu wilayah untuk periode waktu yang cukup lama (biasanya sekitar 30 tahun) yang dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfer, daratan, dan lautan. Sedangkan cuaca adalah kondisi admosfer pada suatu wilayah untuk periode waktu yang singkat (jam atau hari). Pengertian Perubahan iklim sendiri, adalah perubahan pada pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun), perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu Suhu, Curah Hujan, Kelembaban, Evaporasi, Arah dan Kecepatan Angin serta perjalanan.


 
Perubahan iklim akibat pemanasan global sudah dialami banyak Negara, tidak sedikit kerugian yang ditimbulkan, seperti terjadi kerusakan alam, pola hujan berubah, gagal panen sehingga petani kehilangan pendapatan, bencana alam yang membawa korban jiwa, banyak orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir dan tanag longsor, dll.


Pemanasan Global terjadi akibat kenaikan suhu rata-rata di sebagian besar permukaan bumi yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer Bumi. Gas-gas rumah kaca sesungguhnya sangat berguna bagi bumi, sebab dengan adanya gas-gas tersebut permukaan bumi menjadi hangat sehingga memungkinkan semua mahluk bumi hidup di dalamnya karena suhu seimbang gas-gas tadi dihasilkan secara alami diantaranya melalui gas yang keluar dari gunung api, gas -gas di lahan gambut, kebakaran hutan, kotoran ternak, dll. Namun akibat meningkatnya kegiatan manusia di bumi yang menghasilkan gas-gas rumah kaca secara berlebihan maka terjadilah penumpukkan gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi yang berakibat meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi.

Perubahan iklim telah memberikan dampak negatif hampir pada seluruh sektor kehidupan manusia. Di bidang Pertanian, misalnya, Perubahan Iklim telah memberikan dampak negatif yang sangat serius. Hal ini terjadi karena hampir semua aktivitas bidang pertanian sangat bergantung pada cuaca dan iklim. Sedangkan fenomena La Nina dan El Nino yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim, tidak hanya memberikan dampak negatif pada sektor pertanian, dimana akan mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian, tetapi juga memberikan dampak lain, seperti bencana alam, kekurangan air bersih, atau kekurangan kualitas udara.


Pemerintah Indonesia bahkan telah memperkirakan hilangnya potensi Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai dampak perubahan iklim. Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2019, Indonesia akan mengalami potensi kerugian ekonomi hingga Rp 115,4 triliun pada tahun 2024 di empat sektor, yakni kelautan dan pesisir, perairan, pertanian, dan kesehatan. Untuk meminimalisir potensi kerugian tersebut, Bappenas telah menerbitkan dokumen Kebijakan Pembangunan Ketahanan Iklim untuk tahun 2020-2045. Kebijakan ini mendorong seluruh Kementerian dan Lembaga Indonesia untuk melaksanakan aksi ketahanan perubahan iklim di wilayah superprioritas dan prioritas. 

Penerapan Tehnologi Irigasi Tetes di Mbolata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur




Kondisi Iklim di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur

Dalam laporan tentang kerentanan dan pengelolaan risiko iklim pada sektor pertanian, sumber daya udara dan sumber kehidupan Masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Lingkungan tahun 2015, menyatakan gangguan iklim yang dapat menimbulkan bencana yang sering terjadi di Nusa Tenggara Timur.


Beberapa bentuk gangguan iklim yang umum terjadi di NTT khusus di Flores, adalah terjadinya hujan tipuan, yaitu hujan yang hanya terjadi satu atau dua hari pada bulan awal musim hujan dan kemudian diikuti oleh hari tidak hujan selama beberapa hari sehingga dapat menggagalkan kembali tanaman yang sudah ditanam , sehingga petani mengalami kerugian, mereka menanam di sepanjang musim hujan.


Bentuk gangguan iklim yang lain, adalah hujan ekstrim disertai angin puting beliung, dimana pada musim hujan dapat menimbulkan banjir dan merusak tanaman pertanian, hujan berlangsung cukup lama dengan intensitas tinggi. Pada daerah dengan ketinggian sedang dan tinggi, tanaman kopi sebagai sumber pendapatan utama mengalami kegagalan buah karena bunganya rusak dan jatuh akibat curah hujan tinggi. Selain itu, jeda musim juga cukup sering terjadi, yaitu situasi dimana pada musim hujan, tidak terjadi turun hujan selama beberapa hari berturut-turut sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman berumur pendek, misalnya tanaman hortikultura.


Di beberapa tempat, khususnya di daerah dataran rendah, kekurangan air sering terjadi dan berlangsung cukup lama, akibatnya padi menjadi kering, petani akhirnya gagal panen.


Kejadian-kejadian iklim yang demikian menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan kemiskinan yang dialami oleh para petani yang menggantungkan hidupnya pada tanaman pertanian, padi dan hortikultura. Umbi wortel rusak akibat curah hujan tinggi sehingga gagal panen, dialami oleh beberapa petani di Kampung Leda





Namun Petani umumnya tidak tahu, bahwa telah terjadi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Tanpa disadari oleh Para Petani di perdesaan, Perubahan iklim telah menimbulkan persoalan-persoalan sebelumnya, pengetahuan mereka tentang perubahan iklim sangat terbatas. Fakta lain, Pemerintah Kabupaten belum memberikan perhatian serius terhadap isu perubahan iklim, sejauh yang diketahui belum ada program atau aksi yang mengarah pada upaya mengatasi dampak perubahan iklim, baik aksi-aksi adaptif maupun mitigatif.


Beberapa petani hortikultura yang ditemui pada bulan November 2021 di Kampung Leda, Kelurahan Bangka Leda, Kecamatan Langke Rembong mengaku bahwa curah hujan pada setiap bulan Oktober sampai dengan Februari pada 3 tahun terakhir sangat tinggi menyebabkan kerusakan tanaman dan bedeng, permukaan bedeng menjadi rusak sehingga tanaman- tanaman di atasnya mati karena akarnya rusak atau tercabut. Mereka kehilangan pendapatan bahkan mereka nyaris putus asa karena tidak menanam lagi sayur-sayuran jenis, wortel, fanboks dan tomat.

Persoalan ini belum teratasi karena mereka tidak tahu tentang adaptasi teknologi dan mitigasi yang memungkinkan mereka tetap membudidayakan sayur-sayuran meski dihadapkan pada curah hujan yang ekstrim.

Sedangkan petani hortikultura di Mbolata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur merasakan musim kemarau yang lebih lama dan suhu permukaan tanah agak tinggi, sehingga penguapan udara lebih tinggi dari biasanya yang berdampak pada keringnya tanaman jika tidak tersedia ketersediaan udara yang cukup. Mereka masih beruntung karena telah melakukan kebaikan dan menggunakan irgasi tetes dan bio-char untuk menghemat udara dan mengurangi suhu permukaan tanah.

Baca juga :  Hati hati, Perubahan Iklim ancam Ketahanan Pangan dan Sumber Penghidupan Keluarga Petani di Perdesaan

Data tentang pola iklim pada 30 tahun terakhir mestinya dimiliki oleh Pemerintah Daerah agar bisa mendorong petani untuk menanam sesuai dengan pola iklim dan memperkenalkan tehnologi adaptasi dan mitigasi sehingga petani tetap berproduksi. Pengetahuan tentang perubahan iklim harus dimiliki oleh para petani sebagai acuan dalam menentukan kapan harus tanam. Selain itu, Pemerintah harus berupaya memperkenalkan tehnologi yang memampukan petani menanam dan berproduksi pada kondisi ekstrim, misalnya kemarau dan bulan hujan yang panjang.


Penyebarlausan informasi tentang perubahan iklim menjadi tanggungjawab bersama, maka pendekatan inklusi/kolaborasi yang mengikutsertakan semua pihak, antara lain CSO, CBO, Perguruan Tinggi, Lembaga Agama, Pemerintah Kabupaten dan Desa menjadi Model dalam mengisukan dan menyebarkan informasi tentang perubahan iklim serta bersama-sama menyusun aksi-aksi konkrit yang relavan untuk meningkatkan ketangguhan semua pihak dalam bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kebijakan pembuatan yang mengarustumakan isu perubahan iklim untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan iklim. Semua pihak harus menjadi subyek dalam mencatat dan melaksanakan aksi-aksi adaptif/mitigatif di masa mendatang.

Penulis : Rikhardus Roden Urut











Posting Komentar

2 Komentar