Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI ; “Tolong, Jangan Ambil Jalan Lain, Bro!”


“Tolong, Jangan Ambil Jalan Lain, Bro!”

(bacalah Injil Lukas 10:25-37)

“Kebaikan adalah nyanyian indah yang bisa didengar oleh orang tuli, sekaligus bunga indah yang bisa dilihat oleh orang buta”

(Gede Prama, pembicara-motivator-penulis, 1963)



P. Kons Beo, SVD


Dendam dan Benci Bukanlah Lawan dari Cinta

Siapa bilang lawan dari cintakasih itu adalah benci atau dendam kesumat? Teringat lagi rangkaian kata-kata si bijak. Pernah disentil pula oleh Henri Nouwen. Katanya, “Lawan dari cinta, perhatian dan belaskasih bukanlah benci dan dendam. Lawannya adalah ketidakpedulian.” Itu terjadi saat manusia sungguh berkhianat terhadap sesamanya. Bahwa kita bersama sesungguhnya ada dalam dan dari koridor nilai atau martabat kemanusiaan.

Baca juga :

Pojok KITAB SUCI : Itukah yang Kita Sebut sebagai Doa?


Ketika rasa kepedulian menuntun manusia menuju sesamanya di ruang rasa solider teramat dalam, maka sebaliknya virus ketidakpedulian itu mengenyahkan segalanyanya. Di situ, terciptalah jarak teramat kasar dan pedih. Ada kesengajaan yang sungguh keji dan mematikan! “Anda tahu bahwa sesungguhnya Anda sanggup membantu untuk menyelamatkannya! Namun begitu sampai hati kah Anda membiarkannya derita merana, bahkan sampai ia pergi untuk selamanya.”

Ketidakpedulian adalah cikal bakal tragedi kehidupan dan kemanusiaan yang mengerikan! Sekian banyak sesama manusia telah tergelepar. Telah ada korban oleh berbagai tindakan penuh kekerasan, praktek ketidakadilan serta variasi tindakan penuh tekanan.

Sekian banyak orang menjadi pasrah tak berdaya dalam satu aliran sistem gelap yang sungguh mengisap hak-hak asasi. Sekelompok orang menjadi tambun nan gendut di atas rasa serta keadaan duka derita penuh kering kerontang hidup sesamanya.



Kepedulian Mesti Bersinar dari Bola Mata Kasih

Tuhan mesti menuntun kita untuk sungguh ‘sadar dan lihat diri sebagai sesama’ dari siapapun yang tersungkur jatuh dalam derita kehidupannya. Dalam dunia, kita punya kesanggupan akal budi untuk membedah sekian banyak hal. Kita sanggup membaca tanda-tanda zaman. Ada kemampuan dalam meneropong keadaan dunia. Kita sanggup menelaah dampak kemajuan dunia modern bagi peradaban hidup bersama.

Baca juga :
Dan berjuanglah menjadi sahabat seperjalanan dalam ziarah bersama

Apa yang digapai oleh akal budi adalah hal yang luar biasa. Sebab manusia mesti melihat dunia dengan jelas dan benar. Dalam hukum-hukum akal budinya. Bagaimana pun, kesanggupan akal budi sepatutnya dilengkapi oleh medan rasa. Di sini kita masuk, misalnya, dalam alam empathy. Akal budi adalah jalan untuk memahami sesuatu, namun medan rasa menggerakkan! Agar kita segera bertindak. Iya, untuk berbuat sesuatu.

Meneropong Si Samaria dalam Kisah Kita

Mari kita ikuti dinamika penuh empathy si Samaria yang luhur perangainya sebagaimana dilukiskan oleh Yesus dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Luk 10:25-37).

Pertama, “Mari buka mata dan lihatlah!” Kisah getir seorang yang dirampok abis-abisan dan dibuat nyaris mati itu sanggup ditangkap oleh mata orang Samaria itu. Tidak hanya sepasang bola mata akal budi, tetapi terutama juga bola mata bersinar KASIH. Sebab itulah, kata Yesus, “tergeraklah hatinya oleh belaskasihan…” (Luk 10: 33).

Yang disikapi oleh orang Samaria itu kini adalah ‘lupakan sejenak’ tujuan perjalanannya ke Yeriko. Sebab hatinya kini sungguh dikuasai oleh kisah penuh ketakberdayaan di tepi jalan itu. Kita bisa punya banyak ‘Yeriko’ sebagai rencana ini dan itu; kita bisa miliki ‘Yeriko’ sebagai cita-cita dan impian pribadi demi diri sendiri.

Namun, kisah-kisah nyata sesama terkadang sungguh menantang dan ‘mengganggu.’ Dan tidak kah hal itu bahkan menuntut keputusan dan sikap tegas dari diri kita?

Kedua, “Mari bertindaklah…!” Si Samaria itu “pergi kepadanya…” (Luk 10:34). Tak hanya sebuah jarak hati yang mendekat, tetapi juga jarak fisik ada bersama haruslah tercipta! Yesus lukiskan secara jelas tentang apa yang diperbuat oleh si Samaria itu. “Membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur…” (Luk 10:34).

Minyak dan anggur yang bisa menjadi ‘sumber kesegaran dan kepuasan dahaga’ si Samaria mesti dilanjutkan pada si penderita itu. Dan di situlah, apa yang dibawa dan dimiliki oleh si Samaria dalam perjalanannya temukan ‘maknanya yang lebih unggul dan mulia bagi orang yang lebih membutuhkan.’

Tidak kah kita sedikit peka bahwa suara rintihan menyayat, bahkan situasi pilu tak bersuara sekalipun adalah ungkapan ‘teriak minta tolong?’ Di sinilah gaung suara hati kita diuji untuk belajar tahu lepaskan apa yang telah diraih dan dikumpulkan. Setidaknya tetap teringat bahwa ‘ada sesama yang juga atau bahkan lebih membutuhkan’

Ketiga, “Kenyamanan memang mesti dilepaskan…” Yesus kisahkan terang menderang, “…ia menaikkan orang itu ke keledai tunggangannya sendiri” (Luk 10:34). Bahkan yang paling menyamankan demi perjalanan ke Yeriko harus ‘dilepaskan.’ Itulah keledai tunggangannya. Yang menderita tetaplah menjadi prioritas, dan jadi muara perjalanan hati si Samaria yang baik hati itu.



Ia tak menjaga mati-matian keledai tunggangannya sebagai ‘zona nyaman.’ Bagi kita, sering tak mudah membiarkan orang lain memasuki apalagi mengobok-obok area yang menjadi ‘liang dan sarang tempat di mana kepala dan terutama hati kita diletakkan’ (cf Mat 8:20).

Si Samaria tak hanya korbankan ‘minyak, anggur, atau uang’ sebagai materi yang ia miliki. Namun lebih dari itu ia berani korbankan ‘rasa hati kenyamanannya’ yang disimbolkan pada keledai tunggangannya itu. Hitung sajalah variasi ‘zona nyaman keledai’ yang kita punyai dan mati-matian kita pertahankan. Dan rela kah, bahwa demi situasi dan keadaan sesama yang lebik dan sejuk, kita berani untuk turun dari aura kenyamanan itu? Barangkali saja kita mesti belajar blusukan agar lebih banyak orang dalam kepedihannya bisa masuk ke dalam ‘istana hati kita.’

Keempat, “…lalu membawa ke penginapan dan merawatnya,….diserahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya, rawatlah dia….” Apakah yang dapat ditangkap dari alur singkat ini? Panggilan kepada belaskasih dan perhatian adalah panggilan bagi semua.

Si Samaria yang baik hati itu, dengan segala apa yang telah ia perbuat, bisa saja memakai derita sesama (yang jatuh ke tangan penyamun) untuk ‘memperkaya pamor, reputasi atau pencitraan diri.’ Artinya, derita sesama di pinggir jalan itu dapat dipakai demi keuntungan untuk menggelembungkan ‘nama besar dirinya.’

Atau juga bahwa ia bisa bertindak demi penggalangan donasi dalam perangkap gendutkan pundi-pundinya sendiri. Si Samaria yang baik hati tetaplah sebagai orang yang baik hati dan tulus. Tak ada tanda-tanda padanya untuk sebuah aksi manipulatif demi kepentingan dirinya sendiri yang egosentrik!!

Sebaliknya, si Samaria itu tahu apa artinya berkolaborasi, bekerjasama dengan yang lain (pemilik penginapan itu). Situasi dan keadaan yang mengkhawatirkan menuntut kerjasama dan partisipasi yang tulus dan sepenuh hati dari semua.

Kelima, “…dan jika kau belanjakan lebih dari ini (dua dinar), aku akan menggantikannya waktu aku kembali” (Luk 10:35). Perjalanan ke Yeriko mesti ia lanjutkan. Tetapi si derita mesti dirawat sepantasnya. Tak ada yang dilepaskan dan ditinggalkan begitu saja. Si Samaria itu punya janji mulia: ‘ketika aku kembali, dan lewati jalan yang sama ini…’

Yakinlah! Ini bukan soal harta yang telah ia pertaruhkan demi si derita! Tetapi lebih pada ‘daya kekuatan hati yang mengingat.’ Tidak hanya untuk ‘membayar kembali ke pemilik penginapan seandainya ada kelebihan biaya perawatan.’ Tidak hanya itu.

Lebih dari semuanya, yakinlah bahwa si Samaria itu rindu dan punya harapan kuat agar kiranya nanti ia dapat mendapatkan kembali si malang itu dalam keadaan yang lebih baik dan diselamatkan! Pertolongan kepada si derita belumlah selesai. Dan itu tidaklah cukup hanya dengan ‘mempercayakannya pada pemilik ke penginapan.’ Tidak. Tetapi bahwa mesti ada “waktu aku kembali untuk gembira bersamanya dalam keadaan segar dan hidup kembali.”

Kata pastinya telah berbuat banyak kebaikan demi hidup sesama. Demi sesama banyak sekali pengorbanan nyata yang telah kita buktikan. Namun, marilah kita tetaplah lanjutkan daya agung hati “waktu aku kembali.” Iya, kembalilah pada sesama itu dalam harapan dan doa-doa kita. Agar semuanya semakin lebih baik. Hadirkan sesama kita yang diderita itu di hadapan Allah. Sumber segala pengharapan.

Akhirnya…

Tetapi, tidakkah kisah perbuatan si Samaria yang baik hati itu, diawali dengan sikap ketidakpedulian dari seorang imam dan seorang Lewi (Luk 10:31.32)? Keduanya sungguh melihat derita yang dialami orang yang nyaris mati di tangan perampok. Tetapi keduanya ‘melewatinya dari seberang jalan.’


Perjalanan hidup ini masih tetap kita lanjutkan. Hingga akhir nanti. Di keseharian hidup ini, seluruh pancaindra kita akan berhadapan dengan keluhan dan ratapan dunia yang terluka dan terenyahkan. Semua orkestrasi hidup lamentatif ini adalah ujian buat kita: Bertahan pada kenyamanan? Memilih dan melewati dari seberang jalan? Atau kah kita tetap belajar setia menjadi sesama bagi orang lain?

Kiranya kisah Perumpamaan Yesus ini tetap menjadi inspirasi sejuk serentak kuat. Agar kita tak pernah berlari dari kenyataan derita sesama dan ‘harus mengambil jalan lain.’ Di hadapan derita sesama tetaplah teguh untuk mendekat!

Sebab kita adalah pelita pengharapan bagi siapapun sesama ‘yang tergeletak tak menentu nasibnya.’


Verbo Dei Amorem Spiranti



Posting Komentar

0 Komentar