Header Ads Widget

Satu permenungan : Pada Akhirnya Kita toh Tetap Seperti Ini


Pada Akhirnya Kita toh Tetap Seperti Ini
-satu permenungan-

“Tentu bagus jika kau berpikiran terbuka, tetapi jangan terlalu terbuka sampai otakmu keluar”

(Jakob Needleman – filsuf, penulis kontemporer Amerika, 1934)

P. Kons Beo, SVD


Benarkah kita letih?


Sepertinya keletihan lagi mendera. Capek dan bosan tengah meliliti jiwa. Hasrat kita lagi mati suri. Entah sampai kapan ia jadi siuman kembali? Ini tak berarti tak ada hiruk pikuk dan sibuk yang jadi ungkapan diri. Sebenarnya sudah ada banyak hal yang jadi tanda sibuk itu.

Ada rencana sana-sini. Bukan kah di kepala ada tumpukan proposal ini-itu? Sebab, katanya, dunia tetap menuntut agar kita mesti buat sesuatu. Hari-hari hidup tak boleh berlalu begitu saja. Tanpa sesuatu yang berarti. Publik sudah jenuh pada rencana dengan segala kiatnya. Pembuktian yang mesti nyata kini jadi alat ukur. Dan ia bahkan sudah jadi taruhannya.

Banyak yang telah dibuktikan

Namun, sekali lagi, semuanya tak berarti bahwa kita benar-benar ‘tetap di tempat’ dan ‘itu-itu saja.’ Tidak! Banyak hal yang telah diperbuat. Juga telah dibuktikan pada titik kenyataan. Persoalannya? Ada benturan sengit yang sering terjadi. Antara menjawabi harapan publik dan keputusan pribadi yang elegan sering jadi tak karib.

Suara masa itu sering bisa berubah jadi tuntutan ‘harga mati.’ Dan kegarangan pun acapkali jadi tak terhindarkan. Di situ akal sehat terperangkap. Nurani tercomot ke titik nadir. Adakah sesuatu yang lebih fatal di balik semuanya?

Mimpi-mimpi publik harus tiba pada kenyaatan! Desakan seperti itu makin menjadi-jadi. Kekuasaan, yang semula diperjuangkan, kini perlahan ditatap sinis, dan bahkan digugat. Dan cara yang paling lumrah mengoyak kekuasaan adalah menggali kembali janji dan lalu disusuri serius segala pembuktiannya.

Kecewa: satu risiko politik

Maka, ketidaksabaran segera berubah jadi khaos. Sumpah serapah terlontar. Orang mudah bersolider dalam forma ‘dizalimi. Tuduhan kriminalisasi mudah disemprot. Dan di situ, mesti ada pihak lain (kekuasaan) yang didakwah jadi aktor di balik semuanya.

Tak dilupa pula bahwa cara-cara massif juga diandalkan.
 “Propaganda adalah teknik membekukan jiwa dengan cara membosankan – dengan kotbah dan kampanye pengeras suara yang diulang-ulang jam demi jam.” Di situlah akal sehat benar-benar dibantai telak oleh halusinasi yang emosional.
Semuanya diganti dengan kelelahan dan kebosanan. Dan lagi kata sang pengamat, “Kebosanan justru jadi dasar yang baik untuk cuci otak: dalam jemu, dalam lelah pikiran, kita pun jadi pasif. Kita biarkan diri menerima apa saja yang masuk, mengulang apa saja yang dijejalkan…”

Emosi vs akal sehat

Maka, demo jalanan kini tidak bisa hanya disorot sebatas ingin memperjungkal ‘kekuasaan istana.’ Walau itulah yang coba diperlihatkan. Tetapi, demo jalanan kini mesti dibaca sebagai arus nudisasi (penelanjangan) suara akademik mimbar kampus oleh ‘suara emosional berulang-ulang dari mobil komando.’ Kampus telah teremuk di jalanan sebelum ia berniat menggoyang kekuasaan!
Emosi dan akal sehat tidak bisa bersahabat karib di jalanan. Bahkan yang disebut mutualisma reciprocal saja pun tidak! Sebab fanatisme-radikalisme benar-benar sedang mengisap dunia akademik itu hanya ‘dalam angka, dalam jumlah.’ Demi satu kebenaran mayoritas yang manipulatif.

Kudeta sudah dan sedang terjadi

Bila mesti menatap kekuasaan, tidakkah sebenarnya sisi ‘de iure et di facto’ sudah semakin jauh melebar. Sudah makin kasat mata bahwa kuasa formal semakin kurang atau bahkan tidak berdampak dalam pragmatisme kekuasaan.
Tarik ulur di rana yudikatif, misalnya, tidak bisa dipikirkan secara sederhana. Sebab, arahan Presiden, yang lalu dilanjutkan dengan perintah Kapolri, tidak serta merta menjadi mudah hingga ke akar-akarnya. Demi satu solusi masalah seterang-benderang dan seadil-adilnya.

Sebab, de facto, di lapangan, substansi masalah telah terkuasai mutlak oleh segelintir elitis. Yang begitu mudahnya mengacak-acak yang mendasar itu. Hanya demi memperjuangkan kepentingan sepihaknya.’

Tidak kah sendi Kebhinekaan Bangsa dan Negara Kesatuaan telah terkudeta oleh serangan senyap dan juga intimidasi heboh hingga pada sekian banyak dimensi kehidupan lainnya? Oligarki di lingkar kekuasaan seringkali dipakai sebagai motif untuk membenarkan tipe oligarki lainnya, yang bahkan jauh lebih massif dan dahsyat.

Menuju bangsa yang terkoyak?

Dalam hirarki piramidal kekuasaan, hanya ada satu yang ‘dikorbankan’ jadi jenderal penuh. Namun, lemah kuatnya bangunan kekuasaannya, amat tergantung (mutlak) dari ‘batu-batu yang tersusun.’ Animasi Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, boleh berhembus kencang dari sentra kekuasaan. Namun, apakah ia berdampak mutlak dalam satu ketaatan hirarkis?

Indikasi nyata ideologi garis keras, gegar dalam kerukunan hidup beragama, timpangnya rasa keadilan, serta berbagai isu sentimen primordialistik, misalnya, sekian mudah menyusup masuk. Dan, relasi tiranian yang intimidatif semakin rapih tersusun dan hal itu ‘dirasa wajar dan bahkan harus dibenarkan.’

Sebab itu, oligarki kekuasaan, sekali lagi, tak boleh dicurigai bersarang hanya sebatas lingkaran istana. Ia, sejatinya, telah menjamur pada rana-rana keseharian. Kita hidup dalam ‘kekuasaan de facto’ yang seringkali berperangai lebih keras dan kasar.
Tidak kah oligarki di rana hukum, misalnya, telah jadi satu mata rantai yang karatan dan rapuh? Satu lukisan tentang ini terasa mencekam. Sulit ditemukan peradilan yang berwibawa dan sungguh mandiri. Sebab ia sudah berkabut asap tebal oleh pengaruh ‘politik, uang, materi dan ideologi para hakim.’

Demokrasi timpang di simpang jalan?

Akumulasi persoalan semakin menggunung. Terasa ada ketidakseimbangan dalam nikmati satu ‘proses demokrasi.’ Yang terpilih dalam suara proses demokrasi dianggap sungguh nikmati jalan hidupnya. Sementara yang memilih merasa sebatas berharap hanya pada ‘remah-remah yang (semoga) jatuh dari meja politik dan kekuasaan.’

Sebab itulah imbas kekecewaan dan kemarahan sering tak terhindarkan dalam alur demokrasi. Yang memilih dan merasa menentukan kekuasaan beralih dari alam kesetiaan menuju alam reaktif. Ujung-ujungnya ‘ya, terpaksa gigit jari.’ Mungkinkah ini terjadi akibat tumpukan ekspetasi yang tak tiba realisasinya?

Dalam pada itu, yang ada dalam arus kontra (oposan) nampak semakin menggila untuk membombardir kekuasaan kini. Di situ, terasa sudah ada celah untuk mengobrak-abrik wibawa kekuasaan. Perilaku politik atau imbas politik, tetaplah bersirkulasi ‘sebatas itu-itu saja.’

“Kami menang!” Itulah tesis yang jadi akar konsepsi dari “terbentuklah kekuasaan parsial. Saat kami sudah ‘ada dan punya orang dalam’ yang wajib benefit bagi kami.” Sebaliknya, jika merasa ‘tak diuntungkan’ maka itulah titik awal dari pil pahit anti kekuasaan yang mulai ditatap penuh sinis. Berujung kemarahan!
Distorsi demokrasi akan tetap berulang lima tahunan! Apa disebut ‘narsisme demokrasi’ memanglah kenyataan yang sudah mengakar dan menjalar! “Kami harus jadi penikmat kemenangan.” Irama demokrasi praktis hanyalah warna tunggal dari sirkulasi ekonomi politik ‘totum pro parte.’ Artinya?

“Kami telah merebut semua dan segala demi kepentingan kami.” Di sinilah, demokrasi ‘pars pro toto’ terancam bahkan bisa menjadi senyap. Kekuasaan tidak lagi dilihat dan ditafsir sebagai ‘pemberian diri dari sekelompok demi kepentingan publik yang lebih luas.’
Keadaan seperti ini, sebenarnya, tidak jauh dari tesis evolutif, yakni ‘yang kuatlah yang menang.’ Sebab itu, ‘menjadi kuat’ tetap jadi perjuangan tanpa henti. Dengan segala daya upaya dan strategi apapun. Sayangnya, demokrasi yang diimpikan dan seharusnya, bakal tak pernah teralami.

Akhirnya….

Demos tak pernah menang dan memimpin dengan teduh dan damai. Yang terjadi adalah segelintir orang atau kelompok yang telah lihai memperdayai demos. Dan di situ, privatisasi kekuasaan jadi tak menentu. Kita memang akan tetap seperti ini. Dan memang terus seperti ini.

Di jalanan tetap ada ribut-ribut. Nampak ada selalu pikiran yang sudah terbuka kepada ‘kesadaran.’ Sayangnya, di jalanan pula “pikiran itu,” mengadaptasi kata-kata Needleman, nampak “sudah terlalu terbuka sampai otakpun keluar.” Berceceran. Tempias sana-sini. Dalam kericuhan nan menggelegar pula. Entah sampai kapan? Yang jelas para bohir selalu siaga. “Mulai kasak-kusuk. Mengibaskan suasana panas.”

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio san Pietro, Roma

Posting Komentar

0 Komentar