Header Ads Widget

Aksi Laudato si ; Pungut Sampah Dari Gerakan Sporadis Menuju Habitual

Pungut Sampah: dari Gerakan Sporadis menuju Habitual



Pada prinsipnya, kebersihan memberi keindahan dan mendatangkan kesehatan bagi kehidupan. Alam sekitar terasa elok bila ia bersih dan rapih. Konsekuensinya, manusia hidup dan berkembang secara sehat kalau kebersihan lingkungan dijaga dan dipertahankan.

Baca juga yang ini; Satu permenungan : Pada Akhirnya Kita toh Tetap Seperti Ini

Salah satu contoh dari persoalan kebersihan lingkungan hidup kita ialah masalah seputar sampah. Hal ini terjadi karena tindakan membuang sampah yang tidak pada tempatnya. Paus Fransiskus, dalam ensikliknya Laudato Si’ Tentang Rumah Kita Bersama artikel nomor 21, mengatakan bahwa “bumi, rumah kita, mulai makin terlihat sebagai sebuah tempat pembuangan sampah yang besar. Di banyak tempat di dunia, orang lansia mengeluh bahwa lanskap yang pernah indah sekali sekarang ditutupi dengan sampah.” Tentunya realitas ini sangat memprihatinkan kita semua. Sebagai konsekuensinya, udara tercemar, dan manusia yang menghirup udara juga terjangkit virus karena udara yang tidak sehat.
Berbicara tentang sampah bukanlah sesuatu yang baru dan tidak asing. Persoalan mengenai sampah selalu menjadi aktual untuk dibahas karena sampah selalu ada di mana-mana: di pasar, pertokoan, hingga sekolah, dan seterusnya. Sampah-sampah sesungguhnya meminta supaya ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Plastik tak mempunyai mulut untuk meminta supaya dipungut dan ditempatkan pada sebuah medium yang diberi nama “tempat sampah.” Akan tetapi keradaannya yang tidak pada tempatnya itu menggugah kesadaran manusia untuk menempatkannya pada tempat yang seharusnya. Logikanya ialah tidak semua tempat adalah tempat sampah, melainkan sampah itu ada tempatnya di “tempat sampah.”

Baru-baru ini (bulan September 2022), Bapak Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, mencanangkan sebuah program yang sangat menarik untuk didiskusikan bersama. Program ini disebut “Bulan Cinta Laut.” Program tersebut dimaksudkan sebagai upaya pembersihan dan menyelamatkan laut dari tumpukan sampah. Yang menjadi agen dari program ialah para nelayan. Mereka akan “menangkap sampah” sebagai ganti menangkap ikan selama bulan Oktober 2022. 

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; TERKADANG kita jadi cemas bukan saja karena apa yang kita telah raih dan punyai

Para nelayan diberi kesempatan untuk meluangkan waktu mereka untuk mengambil bagian dalam menjaga kebersihan laut dan kesehatan ekosistem laut. Selama para nelayan setia menangkap sampah pada Bulan Cinta laut itu, hasil tangkapan sampah akan dihargai dengan nilai uang oleh pemerintah. Singkatnya, para nelayan akan menjual sampah dan dihargai oleh pemerintah sesuai dengan harga ikan. Dan menurut bapak Menteri, pada tahun 2045 sampah di lautan Indonesia akan berhasil diangkut ke daratan dan diurus dengan baik.

Pungut Sampah: Gerakan Sporadis yang menjadi Gerakan Habitual


“Sporadis” disini dipahami sebagai gerakan atau kegiatan yang dilakukan sesekali saja, jarang-jarang dan tidak terus menerus. Yang terjadi selama ini ialah adanya program “pasukan kuning” yang mengurus sampah. Ada pula kegiatan “pemungutan sampah” dari kampus-kampus. Program dan kegiatan ini sangat bagus dan perlu ditingkatkan. Namun, gerakan ini belumlah cukup menggugah kesadaran masyarakat yang terlanjur nyaman untuk membuang sampah sambil berspekulasi bahwa ada petugas yang akan memungut dan membersihkan lingkungan.


Bercermin pada program dari bapak Menteri kelautan dan perikanan di atas, yang menjadi agen perubahan sebenarnya ialah masyarakat sendiri. Prinsipnya ialah jangan sampai hati membiarkan negara harus mengurus sampah. Jangan biarkan pemerintah mengurus sampah sendirian. Maka dari itu, peran ketua RT, desa, lurah, camat, hingga tingkat teratas mesti dipertebal terutama dalam memotivasi, mengundang, dan bekerja bersama masyarakatnya memungut sampah dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Hasil yang diperolah dari inisiatif seperti ini ialah bahwa memungut sampah bukan hanya menjadi program sporadis atau yang kadang-kadang saja. Memungut sampah mesti menjadi program yang rutin, bahkan kalau boleh menjadi program hidup pribadi; yang kemudian akan menjadi sebuah kebiasaan atau habit. Pepatah mengatakan, “pikiran melahirkan perbuatan; perbuatan melahirkan kebiasaan; kebiasaan melahirkan tabiat; dan tabiat menentukan tempat akhirnya.”

Tantangannya ialah “Apakah mungkin hal ini bisa diterapkan di lingkup lokal kita? Misalnya menggalang gerakan membersihkan dan memungut sampah di pasar yang dilakukan oleh para penjual ikan dan sayur selama tiga kali dalam seminggu sebulan?

Baca juga yang ini; Renungan HARIAN KATOLIK; Jangan menahan kebaikan terhadap orang yang berhak menerimanya...

Kontributor
P. Rino Bardi, SVD
Tagaytay, Filipina

Posting Komentar

0 Komentar