Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI ; Tetap Kuatlah dalam Kesabaran


Tetap Kuatlah dalam Kesabaran

-saat orang-orang Samaria menolak-

(Luk 9:53-55)

“Sabar itu ilmu yang paling tinggi; belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, sekolahnya seumur hidup! Namun ujiannya sering mendadak….”


(anonim)





P. Kons Beo, SVD


Teringat lagi kalimat yang sering terdengar, “Orang sabar dikasihi Tuhan…” Tetapi apakah benar demikian? Salah satu ciri kecakapan emosional dipatok pada kualitas kesabaran yang bernilai. Dalam arti bahwa kesabaran itu berdampak hal-hal yang baik, benar dan indah. Kita mesti bersabar, katakanlah kuat dalam tahan diri, untuk tidak menimbulkan risiko yang buruk atau pun menghancurkan.


Dunia ini dipenuhi dengan ‘banyak umpannya’ yang bisa menjebak emosi destruktif. Psikologi rumuskan kesabaran sebagai kemampuan menahan emosi, pikiran, perkataan, dan perilaku (Subhan El Hafiz, 2017). Dan kesabaran sebagai virtue (nilai), bisa dilihat pula sebagai salah satu seruan pembentukan karakter manusia beriman dalam hidup keagamaan.


Kesabaran bisa pula dimaknai sebagai kemampuan untuk tahan diri yang benar dan tepat pada tempat, waktu dan situasi. Sebab itulah kesabaran dapat menjelaskan citra kepribadian yang unggul dari seseorang. Tetap tahan diri untuk tak membalas kejahatan dengan kejahatan; teguh dalam kesabaran untuk tidak membayar caci maki dengan caci maki.


Renungkanlah aura negatif sebaliknya. Tidak kah hilang kesabaran sering bermuara pada cepat naik darah dan tinju dimainkan? Kehilangan kesabaran dan rasa teduh hati demi mencermati inti persoalan yang sebenarnya menjebak siapa pun jatuh dalam kata-kata dan tindakan penuh kekerasan. Ini bisa dipertebalkan dengan ‘pembenaran kontra’ seperti ‘sebagai manusia, siapa pun punya batas kesabaran, Bro!’


Terdapat hal yang memang mendesak dan menantang. Sebab sepatutnya, semakin tinggi kedudukan seseorang semakin ia berkarib ria dengan kesabaran dan bahkan ‘memilikinya.’ Dari ketinggian pangkat, jabatan atau kedudukan, ia dapat dengan jelas memantau bahwa sering kali kerumitan dan khaos dalam kehidupan (bersama) berawal pula perangai kurang sabar itu.


Rasul Paulus ingatkan jemaat di Galatia akan hembusan angin kasih yang mesti diteruskan kepada sesama. Dan tentunya bukannya angin badai kebinasaan yang menghancurkan. Tetapi Kasih-lah yang mesti diutamakan! Bukannya sebaliknya, “Kalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, jangan-jangan kamu saling membinasakan” (Gal 5:15).


Rasul Paulus sebenarnya berbicara kepatuhan hidup dalam roh. Bukan kah kesabaran merupakan salah satu dari buah-buah roh yang ditekankan Rasul Paulus (Gal 5:22)? Ingatlah juga dengan apa yang ditulis Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain….” (Kol 3:13).


Rasa hilang kesabaran juga dialami oleh murid-murid Yesus. Yakobus dan Yohanes bereaksi ‘marah-marah, iya emosi sembarang’ ketika harus alami penolakan orang-orang Samaria. Dengan sigap berdua memberi usul maut pada Yesus, “Tuhan, bolehkah kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka (Luk 9:54). Usulan fatal ini ternyata harus dihardik Yesus dengan teguran keras, “Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan. Anak Manusia datang bukan untuk membinasakan orang, melainkan untuk menyelamatkan nya” (Luk 9:55).


Sikap penuh kesabaran mesti dikaitkan sikap belaskasih Allah yang menyelamatkan. Ingatlah Ayub yang kesabarannya sungguh teruji dalam kisah-kisah pahit yang mesti ia hadapi sendiri (Ayub 1:1-22). Nabi Yunus perlu diperingatkan Tuhan karena sebenarnya ia tak miliki sikap penuh kesabaran akan orang-orang Ninive. Tetapi pada akhirnya Yunus insaf bahwa Allah sungguh sabar dan mesti menyelamatkan bangsa Ninive (Yun 4:1-11).


Kita memang mesti belajar untuk bersabar. Di atas segalanya selalu ada Tuhan yang melampaui segalanya kita. Tidak kah kita percaya akan rencana dan penyelenggaraan yang mesti terjadi? Alam dan dunia, oleh Tuhan telah miliki hukum-hukumnya sendiri. Sebab itulah kita dipacu untuk bekiblat pada proses. Pertumbuhan dan perkembangan memiliki dinamikanya.


Kekurangan dalam kesabaran akan lahirkan ‘jalan pintas’ penuh perangkap. Jaminan atau keadaan hidup yang baik dan benar tercapai melalui usaha dan perjuangan yang sewajarnya. Tetapi, bukankah sebaliknya, semisal korupsi, adalah jalan pintas anti kesabaran dan perjuangan, yang pada titiknya menjerumuskan diri kepada petaka?


“Sabar terhadap sesama, kendali diri dari jebakan emosional penuh kekerasan” adalah citra penguasaan diri untuk TIDAK segampangnya ‘turunkan api dari langit untuk membinasakan sesama.’ Ini sungguh menjadi ujian yang tak gampang. Sebab kesabaran sering dipandang sebagai ‘kelemahan, kepengecutan, kerapuhan, ketakbernyalian…’


Tetapi, iman kristiani justru teruji dan memiliki kekuatannya dalam marwah kesabaran itu! Tuhan, dengan kasih dan kesetiaanNya yang mahasabar itu ‘mencari untuk menemukan kita manusia yang hilang dari Tahkta Kasih dan KerahimanNya.’ Kisah keselamatan kita adalah kisah kesabaran agung: yang teduh hati di hadapan Pilatus, yang bertahan di hadapan para penyesah, yang tetap setia memanggul salib hingga ‘selesailah sudah di Bukit CINTA Golgota.’


Ada sekian banyak ‘kekurangan, ketidakhebatan, kelemahan, belum berkembangnya serta segala kerapuhan sesama yang terbentang jelas dan tepat di hadapan kita! Semuanya tentu sungguh menguji kesabaran kita di dalam iman, harapan dan kasih.


Hanya dengan cara dan dalam spirit penuh kesabaran, siapapun dapat memenangkan ujian kehidupan yang sering kali tak mudah untuk dihadapi dan dilewati. Sungguh benar kata si bijak, tentang kesabaran itu ‘ilmunya paling tinggi, belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, sekolahnya seumur hidup. Namun ujiannya seringkali tiba-tiba. Iya, ujiannya mendadak…’ Tetapi apakah Anda lulus?

Buktikanlah!



Verbo Dei Amorem Spiranti..



Biara Passionis, Vignanello-Italia

Posting Komentar

0 Komentar