Dan Candi Borobudur pun tak Jadi
Sunyi…
-merenung bising si Roy Suryo-
Candi Borobudur |
“Kebijaksanaan adalah sebuah pohon yang tumbuh bersemi
di hati dan berbuah di lidah”
(Ali bin Abi Thalib, 599 – 661)
P.
Kons Beo, SVD
Bahasa
Keberpihakan
Semula Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo
Notodiprojo punya niat luhur. Ia bereaksi penuh empati. Rasanya memang
kelewatan, setidak menurutnya. Itu tentang harga tiket ke puncak Borobudur.
Yang dipatok terakhir itu, sekitar Rp 750,00 bagi wisatawan lokal, rasanya terlalu
melambung. Mana mungkin, demi masuk dan mengagumi warisan kebesaran Dinasti
Sailendra dari Mataram Kuno yang dibangun sejak tahun 770 M itu, wong cilik
mesti terbebani.
Syukurlah!
Belakangan, tarif diturunkan. Kembali ke nominal Rp 50,00. Andaikan di titik
ini Roy Suryo punya andil, betapa ia punya sumbangsih reaksi berkadar positif.
Tetapi, soalnya bukannya di situ. Postingannya itulah yang dianggap tak sedap.
Lanjutan Roy Suryo tentang ‘gambar stupa Candi Borobudur’ berkepala mirip Jokowi jadi tenar. Dan ini semakin
menggelarkan dengan tiga kata kunci cuitan Roy.
“Hehehe,” “Lucu” dan “Ambyar” nampaknya jadi bara api yang membakar! Di hari-hari terkini, makin
riuhlah klarifikasi Roy dan pengacaranya. Tentu, para netizen kontra Roy, tak
tanggung-tanggung menghajarnya tak ampun. Dianggap telah kelewatan
melanjutviralkan gambar itu plus tiga kata cuitannya.
Tafsiran Sana-Sini
Roy sedang
lecehkan agama Budda? Ia sedang ‘tertawakan’ Jokowi? Atau apa sebenarnya hendak
dilucukan Roy dengan tiga kata itu?
Belakangan ini terungkap maksud Roy lewat Pitra Romadoni, pengacaranya, “Jadi
jelas kata ‘lucu’ itu bukan untuk meme stupa tersebut, tapi postingan netizen
tersebut yang menurut Mas Roy ambyar. Ini pelapor salah paham menafsirkannya.”
Jika demikian,
betapa sekian banyak netizen, yang penuh amarah itu, ramai-ramai telah
terjeblos dalam rawa-rawa salah
penafsiran. Artinya, tiga kata itu tidak untuk remeh-hinakan Candi
Borobudur. Bukan! Tentu juga tak hendak hinakan ‘Jokowi’ yang gambarnya
termirip di stupa ini. Tidak! Artinya, di titik ini, Roy tak sedang nistakan
agama. Tidak pula ‘tak santun pada Jokowi’ sebagai Kepala Negara.
Roy bisa
dipahami dengan segala klarifikasinya ini. Malah, telah ada kecurigaan di pihaknya
bahwa semuanya ini mulai bergerak dalam ‘arus politisasi.’ Ada kah para buzzer yang dianggap telah maen kotor tiupkan bara api politik?
Punya intensi buruk untuk panaskan suasana? Maklum, Roy memang terkenal kritis
menalaah keadaan negeri jika menurutnya lagi tak elok!
Meraba-Raba Letak Persoalan
Sepatutnya
netizen kontra Roy hindari diri dari tendensi berkomen tak santun! Yang
melabraknya dengan jurus ad hominem yang
selalu itu-itu saja. Keramaian stupa
Candi Borobudur tak ada hubungan dengan ‘bekas menteri panci zaman SBY.’ Sepantasnya
ikuti saja dengan ketenangan hati ‘arus logika Roy.’
Akibat dibuatnya
meme itu Roy pasti tak bisa tidak
untuk mengatakan ‘saya sungguh merasa ceriah dan gembira.’ Sebab itulah Roy
menulis, “Hehehe – lucu – ambyar.” Tidak
kah hal ini yang membuat Roy sekian ceriah? Tapi ingatlah! Sudah dibilang:
Bukan lucu karena Candi Borobudur terhina! Tidak pula lucu karena gambar mirip
Jokowi. Semuanya jadi lucu semata-mata karena kreativitas ‘yang memposting
pertama itu.’
Itu berarti Roy
bukan subyek pertama, bukan inisiator
atau bukan pula protagonista, yang ‘bikin heboh suasana, apalagi sampai
melecehkan kesakralan tempat suci agama Budda.’ Simpelnya, Roy hanya ‘terciprat
dalam dirinya sendiri rasa lucunya’ saat ‘gambar itu lewat di hadapannya.’ Dan
bukan tak mungkin ‘ia bisa saja hendak mengajak Sabang sampai Merauke untuk ber
hehehehe dalam kelucuan masif.’
Ada kah Sesuatu yang Aneh?
Tetapi, tidak
ada kah sesuatu yang terasa aneh di sini? Sebab belakangan “Roy Suryo Laporkan
Pengunggah Pertama Gambar Meme Stupa Candi Borobudur Mirip Jokowi” (Kompas 17.6.2022). Malah ada kemuliaan
hati Roy Suryo, sebagai pakar telematika, untuk membantu Polri melacak
akun-akun pengugah pertama itu.
Patut kah Roy
laporkan pengugah pertama meme kocak itu yang sudah membuatnya ‘hehehe - lucu –
ambyar? Tidak terasa aneh kah bahwa penggugah pertama dilaporkan ‘sebab ia
telah bikin Roy merasa ceriah dan lucu.’ Bayangkan saja jika ‘para pelawak saya
adukan ke polisi sebab telah bikin saya tertawa senang dan lucu.’
Tidak kah Roy seharusnya
‘lindungi dan sembunyikan’ akun-akun pengugah pertama itu sebab semuanya telah
aset ‘rasa senang dan bahagia?’ Tidak kah ini sikap Roy Suryo ‘bagai habis
manis rasa lucu, saat terasa pahit suasana, sepah dibuang?’
Tetapi,
kegaduhan ini tentu bisa bikin Polri kepikiran
yang tak ringan. Jangan-jangan hanya karena si Roy Suryo yang bikin komen,
Polri mulai cekatan bersigap! Padahal meme itu telah diposting sebelumnya. Apa
kah karena Roy memang ‘kurang akrab nan mesrah dengan Pemerintah kini di bawah
Jokowi?’ Maka ‘kesalahannya’ sungguh dinantikan penuh harap. Dan sesegeranya disikapi? Entahlah!
Saat Kata Maaf Terucapkan
Kini, ramai-ramai
Polri ditatap sejadinya. Entah kah sungguh serius berpihak pada kaum ‘yang
sedikit dan kecil?’ Bahwa ada sesuatu yang terasa dilecehkan dari kisah stupa
Candi Borobudur itu. Tempat yang disakralkan. Demi memuja Sang Ilahi, dalam
keheningan dan keteduhan batin. Biar semuanya jadi terang: penghinaan kah?
Politisasi kah? Penggiringan opini kah? Atau apa sebenarnya ad intentionem puram yang
tertanam dan tersembunyi di lubuk hati Roy Suryo?
Bagaimana pun
Roy Suryo sudah tunjukan satu bukti niat untuk ‘gugur lenyapkan’ postingan itu.
Ia bahkan sudah minta maaf. Ini setidaknya telah jadi awal yang baru untuk
menata ulang suasana yang sempat ramai. Setidaknya di medsos itu.
Akhirnya
Kini, mari biarkan
para Bhiksu dan Bhiksuni serta para saudara-saudari pengikut Sidharta Gautama
tetap berkhusuk hening di Candi Borobudur. Demi berserah diri pada Yang Ilahi,
Yang Dipuja.
Oh iya,
mudah-mudahan, sebentar lagi Candi Borobudur sungguh dikelola dengan “Konsep Wisata Religi
Buddha.” Itulah suara Walubi. Artinya, “Dari seluruh dunia umat Buddha datang
ke Candi Borobudur untuk sembahyang karena itu adalah tempat yang paling tinggi
spiritualnya..” itu kata Rusli, Koordinator Publikasi DPP Walubi (Kompas 7.6.2022). Sebab itulah tak
usalah buat yang ‘aneh-aneh lagi tentang tempat sakral dari keyakinan dari
saudara-saudari kita sendiri.’
Verbo Dei Amorem Spiranti
0 Komentar