Header Ads Widget

Pojok Kitab Suci ; Mari Mendengarkan Dengan Telinga Hati

Mendengarkan Dengan Telinga Hati

-melanjutkan pesan Paus Fransiskus pada Hari Minggu Komunikasi Sedunia 2022-

Minggu, 29 Mei 2022

“Orang yang hanya mendengarkan suaranya sendiri, apa bedanya dengan orang tuli?” (Achmad Mustofa Bisri – Gus Mus, Ulama, 1944)



P. Kons Beo, SVD


“Mendengar Dengan Telinga Hati.” Demikianlah inti permenungan Gereja pada hari Minggu Komunikasi Sedunia, 29 Mei 2022. Paus Fransiskus menggerakkan kita akan kenyataan miris masa kini, yang dilukiskannya sebagai “kehilangan kemampuan mendengarkan orang-orang di sekitar kita, baik dalam hubungan yang biasa sehari-hari maupun ketika memperdebatkan isu-isu penting dalam kehidupan masyarakat.”

Sesungguhnya, dunia tak kekurangan jumlah orang-orang cerdas yang sanggup membaca tanda-tanda zaman. Kita tak kekurangan orang-orang bijak yang menuntun hati nurani kita demi kearifan sikap di ziarah hidup. Tetapi pula, ada sekian banyak orang dengan segala isi pikiran dan hatinya yang tersembunyi yang rindu untuk “didengarkan.” Itulah yang diyakini oleh Paus Fransiskus.



Sebab itulah siapa pun kita, terutama para pendidik dari berbagai bidang keilmuan, terpanggil untuk “memainkan peran sebagai komunikator.” Peran seperti menjadi amat berarti agar kita sanggup menangkap isi hati sesama, dan menanggapinya dengan arif dan cerdas.

Baca juga yang ini :
Tendangan Pojok Pater Kons Beo, SVD : Janganlah (lagi) Berpikir Yang Bukan-Bukan

Paus Fransiskus, selanjutnya menjabarkan tema ini dalam tiga pikiran mendasar:

Pertama: Mendengarkan dengan telinga hati.

Berkaitan dengan perintah untuk menjalankan Taurat, kepada orang-orang Israel digemakan seruan “Dengarlah, hai Israel” (Ul 6:4). Dan merujuk pada kata-kata Rasul Paulus, “Iman timbul dari pendengaran” (Rom 10:17), setiap kita terinspirasi untuk membuka “telinga hati yang mendengarkan.”

Adalah harapan bagi kita semua untuk sejenak bijak menangkap suara-suara bertuah. Kata-kata seperti itu tentu tak hanya sebatas demi perkembangan diri dan kehidupan personal. Tetapi pula bahwa kata-kata itu mengarah pada pembangunan kehidupan bersama yang bercitra. Siapapun manusia tak hanya bertumbuh atas dasar suara hatinya sendiri. Tetapi juga mesti berkembang dalam kemampuan mendengarkan suara-suara sesamanya.



Paus Fransiskus mengajak kita untuk merenungkan ajakan St Agustinus agar kita “mampu mendengarkan dengan hati” (corde audire), dengan satu harapan untuk mendengarkan secara rohani agar, “Jangan menaruh hatimu di telinga, tetapi taruhlah telinga di hatimu.” Paus Fransiskus juga ingatkan kita akan kata-kata bermakna dari St Fransiskus dari Asisi yang menasihati saudara-saudaranya untuk “mencondongkan telinga hati.”

Baca juga yang ini : 
Renungan Harian KATOLIK : Berbahagialah Anda kalian yang memiliki kemuliaan suara hati yang sanggup menangkap suara Tuhan.


Mari kita mentatap penuh serius kenyataan hidup yang sungguh menantang seruan “mendengarkan dengan telinga hati.” Manusia nampak telah terpenjara oleh ‘sarana-sarana komunikasi’ yang sungguh menyedot dan menguras, serta membatasi daya perhatiannya pada dunia yang lebih luas. Di samping itu, orang sekian terserap pada imajinasi kata dan sebatas pada pelbagai deskripsi logik (masuk akal), tanpa hati yang menggerakkan demi kebaikan atau mengelak dari yang bisa merugikan atau bahkan menghancurkan.

Baca juga yang ini : Renungan Harian KATOLIK : Siapapun manusia terlalu rapuh untuk hadapi badai kehidupan yang menggelora

Kedua: Mendengarkan sebagai Syarat Komunikasi yang Baik. Paus Fransiskus menandaskan, “Ada jenis pendengaran yang benar-benar tidak mendengarkan, tetapi malah sebaliknya: menguping.” Komunikasi menjadi rusak dan bahkan bisa meruntuhkan satu persekutuan: hidup bersama, dalam keluarga, hidup kebertetanggaan, dalam kelompok apa saja, sering disebabkan oleh ‘trampilnya orang-orang yang suka bawa mulut panas, yang lincah menghasut sana-sini dan mengoreng isu tanpa solusi.’

Tetapi tak dilupa bahwa persekutuan, kekariban, rasa kekeluargaan dan kekerabatan dalam hidup bersama pada level apa saja bisa berujung petaka atau bencana oleh ‘manusia-manusia yang suka menguping.’ Kita ikuti apa yang dijelaskan Paus Fransikus tentang hal ini, “Dalam kenyataan, menguping dan mematai-matai, yang mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan kita sendiri, menjadi godaan yang selalu ada…”

Baca juga yang ini :  
Renungan Harian KATOLIK : Namun pada intinya, kita amat berharap bahwa semuanya akan tiba pada kenyataannya.


Dapat dibayangkan bagaimana buruknya satu komunikasi tanpa hati ketika sungguh terblokir pada sebatas menguping atau mata-mata untuk memantau. Sebab di situ, orang tidak lagi menjadi fokus untuk membangun kebersamaan dalam persekutuan dan komunitasnya. Namun ia sebatas senyap dalam ‘pasang mata dan pasang telinga (menguping) untuk kemudian dimanipulasi oleh kelompoknya atau orang lain. Sepertinya mesti dihentikan ‘kebiasaan memasang orang lain atau bahkan anak-anak sendiri’ untuk memantau atau menguping di rumah tetangga, atau di mana saja. Sebab siapa pun, sebaliknya, harus didorong dan dilatih untuk berkomunikasi dengan spontan, ceriah, penuh ketulusan dan kejujuran serta penuh keterbukaan hati.

Baca juga yang ini : Renungan Harian KATOLIK ; Seseorang itu tidak akan pernah benar di hadapan para pembencinya.

Kemampuan untuk mendengarkan tentu pula menuntut kesabaran. Di sekitar kita, tak hanya satu suara yang berkumandang. Ada banyak suara dengan varian sudut pandangnya. Paus Fransiskus lukiskannya sebagai alam jurnalisme yang mesti lewati syarat mendengarkan dengan baik dalam waktu yang lama, dan menuntut kesabaran. Di situ tentu akan muncul pemberitaan akan “informasi yang padat, seimbang dan lengkap.”


Kita memang harus keluar dari apa yang diyakini Paus Fransiskus sebagai monolog. Bahwa segala bicara kita hanya keluar dari isi, tafasiran dan sudut pandang sendiri. Kita bisa tergoda untuk bicara dan terus bicara tanpa spasi apalagi titik demi satu muara hening dalam mendengarkan. Patut dicontohi apa yang disikapi oleh Kardinal Agostino Casaroli, yang dalam karier diplomatik Tahkta Suci selalu berbicara tentang “kemartiran dalam kesabaran.” Tentu dalam mendengarkan dan didengarkan dengan pihak manapun yang dianggap paling sulit.

Baca juga yang ini : 
Renungan Harian KATOLIK : KITA memang mesti hati-hati dengan daya rusak hasutan

Paus Fransiskus memberi penghargaan akan dunia yang telah belajar untuk mendengarkan suara yang berpautan dengan kenyataan miris yang dialami dunia. Entah berkaitan dengan pandemi, soal migrasi serta berbagai kegelisahan sosial yang tengah mendera. Ketiga: Mendengarkan Satu Sama Lain di Dalam Gereja

Paus Fransiskus mengutip kata-kata Dietich Bonhoefer, seorang teolog Protestan, “Orang-orang Kristen telah lupa bahwa pelayanan mendengarkan telah dipercayakan kepada mereka oleh DIA yang adalah pendengar yang baik dan pekerjaannya harus mereka bagikan. Kita harus mendengarkan dengan telinga Tuhan agar kita dapat mengucapkan firman Tuhan.”

Sungguh! Hal pertama yang diberikan dalam satu persekutuan iman (Gereja) adalah mendengarkan! Paus Fransiskus mengajarkan bahwa “Tugas paling penting dalam kegiatan pastoral adalah kerasulan telinga, - mendengar sebelum berbicara. Rasul Yakobus ingatkan, “Hendaknya setiap orang cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara” (Yak 1:19).

Proses Sinode yang tengah berlangsung kembali disentil oleh Paus Fransiskus. Inilah kesempatan besar bagi Gereja, Umat Allah, untuk saling mendengarkan. Tetapi di balik kekuatan untuk sungguh mendengarkan tetap terdapat, sekali lagi, kesabaran dan kerendahan hati.

Akhirnya…

Baca juga yang ini : 
Renungan Harian KATOLIK ; Dan berjuanglah menjadi sahabat seperjalanan dalam ziarah bersama


Kesanggupan untuk mendengarkan dengan hati adalah satu harapan bersama. Semuanya demi membangun satu spirit dan daya komunikasi antar manusia. Dari situ tentu akan terbentuk komunitas, persekutuan, komunio atau kebersamaan yang kokoh di perbagai level.

Dunia tentu tetap tebarkan ancaman-ancaman nyata terhadap perelasian atau komunikasi yang sehat dan wajar satu terhadap yang lain. Di persimpangan komunikasi yang macet ternyata kita tetap temui ‘virus epen (emangnya penting??), virus EGP (emangnya gue pikirin??), virus persetan, cuek, malas tahu, apatis yang menggiring manusia sebatas menangkap informasi yang tak utuh, yang akhirnya menjebak manusia ke kedangkalan analisis dan berujung pada kesimpulan yang fatal.

Baca juga yang ini: Renungan Harian KATOLIK : JIKA memang tertanam benih baik dalam kebersamaan, yakinlah kebersamaan itu jadi indah.

Kita memang mesti mendengarkan dengan telinga hati. Lebih dari citra pastoral mendengarkan, kita bisa mengalami dan menghayati sikap mendengarkan dengan telinga hati sebagai satu panggilan hidup Kristiani. Kepada Tuhan yang berseru dan memanggil, kita membuka seluruh diri, “Bersabdalah, ya Tuhan! HambaMu mendengarkan…” (1 Sam 3:9).



Verbo Dei Amorem Spiranti

















Posting Komentar

0 Komentar