Header Ads Widget

Tendangan Pojok Pater Kons Beo, SVD : Janganlah (lagi) Berpikir Yang Bukan-Bukan

Janganlah (lagi) Berpikir Yang Bukan-Bukan
-sekedar catatan lepas-
“Dua hari yang paling penting dalam hidup Anda adalah hari ketika Anda dilahirkan dan hari di mana Anda mencari tahu: Mengapa….”

(Mark Twain, novelis dan pengajar, Amerika, 1835 – 1910)
Pater Kons Beo,SVD

Ini bahayanya
jika pikiran lagi tersendat. Sepertinya ada yang mengganjal di batok kepala. Tak ada sedikit pun outlet untuk bebas dari kesumpekan isi kepala. Manusia memang punya anugerah besar, yakni ‘kepala dan isinya’ sebagai modal telak. Di situlah tertampung sekian banyak kemampuan rohani. Termasuk di dalam daya-daya akal budi.

Baca juga yang ini : Pojok KITAB SUCI ; Tuhan, Berikanlah Kami Rasa Hati Berkecukupan

Kita sanggup beropini. Punya daya ingat. Terdapat pula kesanggupan untuk berkesimpulan. Tak hanya itu, kita pun sanggup berimaginasi. Iya, sekedar tebarkan satu hipotese. Dunia logika adalah milik kita. Dunia seperti itulah yang jadi karakter manusia.

Tetapi apakah yang disebut kemampuan, isi dan cara berpikir, yang jadi primat dari setiap individu, sungguh menjadi berkat? Ini tentu yang jadi bahan permenungan untuk dipertimbangkan. Kita pasti tahu bahwa setiap orang miliki ‘daya dan cara berpikir’ yang berbeda-beda. Toh, ini tergantung pula dari sejuta latar di baliknya. Amatlah luas dunia yang lahirkan ‘cara, isi dan kesanggupan berpikir’ dari masing-masing pribadi.


Tak ditampik bahwa terdapat aliran berpikir yang sejuk mengalir. Ini tak sekedar bahwa ‘dunia pikiran itu’ sungguh sejalan dengan hukum berpikir (logika). Tetapi pula bahwa alam pikiran itu sungguh berkarib mesrah dengan daya psikoemosional. Tak ada tabrakan maut dengan dunia rasa yang berujung pada khaos dalam dunia batin.

Dunia sungguh menjunjung tinggi apa disebut ‘actus berpikir positif.’ Ada keyakinan bahwa isi dan cara berpikir positif itu sebenarnya bertautan dengan ‘emosi positif dan konstruk lainnya seperti optimisme, harapan, bahagia dan kesejahteraan psikologis’ (Devi Jatmika, 2017). Berpikir positif, seperti kata Mc Grath, adalah ‘keseluruhan sikap yang terwujud dalam pikiran, perilaku, perasaan dan ucapan yang menuju ke arah pertumbuhan dan sukses.’

Baca juga yang ini : Pojok KITAB SUCI ; Tetap Kuatlah dalam Kesabaran

Formasi untuk ‘berpikir positif’ mesti jadi keharusan. Salah satu hal kunci di balik itu adalah apa yang disebut explanatory style. Artinya, setiap individu dituntun untuk sanggup menjelaskan terjadinya satu peristiwa atau kejadian (2017). Ini dimaksudkan agar dapat ditangkap dalam, misalnya, forma kausalitas (sebab-akibat) atau aksi-reaksi dari sesuatu yang terjadi. Dengan itu, kita pun tak terkurung sebatas perangkap penghakiman.

Tentu logika dari satu peristiwa atau kejadian mesti dipahami jelas. Tentu ada intensi mulia di baliknya. Bahwa yang ‘baik dan benar’ itu dipertahankan sementara yang ‘buruk dan salah’ segera dikoreksi untuk diluruskan. Tetapi hal ini berlaku jika memang setiap kita berjalan dalam koridor berpikir positif.

Baca juga yang ini : 
Pater Kristianus Sambu ; Solidaritas dan Peduli merupakan Sikap dalam menjalankan misi pembebasan di bidang Sosiel Ekonomi.


Sayangnya, andaikan cara berpikir negatiflah yang berkuasa (mutlak). Sementara pendapat meyakini bahwa ‘isi dan cara berpikir negatif’ berbuntut pada dua hal pokok. Pertama adalah ‘penjajahan atas diri sendiri akibat dari (hanya) satu kisah buruk, yang menutup segala kisah-kisah indah dan baik yang pernah terjadi.

Dan berikutnya, bahwa kisah-kisah suram dipastikan ‘wajib terjadi dan bertahan lama.’ Berpikir negatif adalah forma kaku yang telah pakumatikan satu keyakinan bahwa tak ada lagi kemungkinan (sedikitpun) untuk berdiri dan kembali berlangkah.

Baca juga yang ini :  
Renungan harian KATOLIK : MARI kita hentikan sudah semua pikiran dan rasa hati yang hanya bikin sesak di dada dan pusing di kepala!


Jika mesti masuk dalam kisah-kisah keseharian, sebenarnya terjadi benturan hebat antara ‘isi dan cara berpikir yang positif versus yang bernada negatif.’ Kita ibaratkan saja bahwa terjadi silang selisih antara pendekatan untuk ‘tetap mencari dan melihat bagian yang baik, yang tetap bisa dimakan (berarti) dari sebuah mangga yang dinilai busuk dengan gaya bersikap ‘karena hanya nila setitik rusak susu sebelanga.’


Pola pikir positif vs pola pikir negatif tentu tak sesederhana yang dibayangkan. Sebab hal itu terkonek dengan obyektivitas atau pada fakta (kenyataan) yang berbendera kebenaran. Dan di hadapan kebenaran itu, apakah terdapat kebajikan yang disebut kerendahan hati? Dalam kerendahan hati, sebagai nilai, selalu ada harapan untuk (kembali) berjalan menuju kebaikan bersama.

Dalam polarisasi masyarakat yang saling berseberangan atau bertentangan, cara dan isi berpikir positif dan (atau) negatif sudah terjerat dalam arus kelompokisme yang sempit. Di situ, isi dan cara berpikir negatif, misalnya, dibidik hanya pada ‘kelompok sana, group itu, orang-orang mereka.’ Sebaiknya ‘yang punya kita itu selalu dan pasti baik-baik saja serta wajib OK.’


Dalam gerak perkembangan teknologi komunikasi yang sekian canggih ini, semburan informasi sana-sini jadi tak terbendung. Semuanya itu tentu dapat membentuk persepsi, asumsi, penilaian atau sikap terhadap peristiwa atau juga terhadap individu tertentu.

Tetapi, apakah semuanya itu berdampak pada ‘isi dan cara berpikir positif?’ Di satu pihak, kita merasa tiba pada kepuasan akal sehat. Sebab kita merasa tercerahkan terhadap satu dua isu penting. Dan bisa membentuk sikap penuh waspada. Namun, bukankah hal ini bisa lahirkan pula ‘isi dan cara berpikir negatif’ terhadap individu atau kelompok tertentu?

Segala framing dibangun sungguh tak hanya untuk mencerahkan (ratio), yang ia bisa berdampak pada gerak ruang emosi positif yang bisa ceriah bergembira. Namun, ingatlah bahwa framing itu juga bisa berakibat pada alam kontra nilai seperti kebencian, dendam, irihati dan segala hal lain yang negatif. ‘Anda merasa bersyukur sebab telah tercerahkan oleh ulasan, misalnya, tentang gerak kaum teroris atau segala gerak kelompok anti semangat nasionalisme. Karena itulah Anda memang mesti waspada. Tetapi, tidakkah ruang hati Anda bisa juga dirayapi oleh virus kebencian akan kelompok penuh ancaman itu?

Baca juga yang ini : Kotbah Hari Minggu ; Meskipun kita ingin menjadi kaya, orang lain tetap tidak boleh dikorbankan

Sebab itulah, tentu dibutuhkan ketahanan diri yang OK dalam menghadapi segala kisah dan peristiwa. Kita butuh alam jiwa serta nuansa batin yang terolah. Blessing in disguise (berkat terselubung) adalah kesadaran paten bahwa terdapat ‘pelajaran teramat bernilai dan mahal’ dari apapun peristiwa yang terjadi.

Konflik, perseteruan, pertengkaran sengit sambil ‘baku kata rata,’ tembakan kata-kata dan unjuk sikap penuh ancaman, fitnah, irihati, propaganda suram ke sana ke mari, semuanya ini adalah aksi-aksi nyata dari ‘pikiran yang bukan-bukan.’ Kita masih terbelit hanya seputar dan sekitar ‘isi dan cara berpikir yang itu-itu saja.’ Masih tergurita pada yang lama dan belum tiba juga di jalur move on.

Di titik ini, kita sepatutnya tak boleh bertahan hanya pada zona ‘manusia rational-emosional-humanistik’ hanya sebagai manusia belaka! Tetapi juga mesti tetap tampil sebagai homo religiosus. Itulah sosok insan beriman. Manusia yang sungguh percaya pada Tuhan dan menyerahkan diri ke dalam ‘daya-daya ilahiNya’ yang transformatif. Itulah daya dan kekuatan penuh harapan di dalam keberserahan pada Tuhan. Yang sungguh mengubah segalanya jadi ‘indah, baru dan berdaya pikat.’

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio san Pietro - Roma

Posting Komentar

0 Komentar